Oleh
Ariska
Anggraini
Setelah dirasa gincu
merah menempel sempurna pada bibirnya, wanita itu bergegas menuju kedai kopi.
Hari ini adalah hari yang patut dirayakan. Meskipun pada hari yang patut
dirayakan ini sang kekasih tak dapat mendampinginya, wanita dengan bibirnya yang
kini merah itu tetap bahagia. Wanita
itu teringat sebuah puisi dari penyair kesayangannya: kurang atau
lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi[1]. Begitupula
dengan kebahagiaan. Karena itulah, wanita dengan bibir merahnya itu mengunjungi
kedai kopi. Hari ini dia merasa bahagia. Dan kebahagiaan tetap harus dirayakan
meskipun tak lengkap.
Usai secangkir kopi hitam
pekat terhidang di mejanya, wanita itu tak langsung mencicipinya. Aroma kopi ia
biarkan merasuki tubuhnya terlebih dahulu. Rasa nikmat menyatu dalam sukmanya
walau setetes kopi pun belum membasahi bibir merahnya. Memang benarlah jika empat cangkir
kopi setiap hari mampu menjauhkan kepala dari bunuh diri, tetapi tidak dengan
kematian. Tak ada yang bisa menjauhkan kematian dari kepala siapapun. Tiap
kepala pasti mati, walau tak semua kepala akan mati dengan membunuh dirinya
sendiri. Dan kini, lima menit sebelum wanita itu mengecup cangkir kopi dengan
bibir merahnya, dia teringat akan kekasihnya. Kekasihnya mati. Tepat lima menit
usai meminum secangkir kopi.[2]
Kalian pasti berpikir
bahwa wanita berbibir merah itu adalah wanita yang paling jahat di dunia ini.
Bagaimana mungkin seorang wanita merayakan kebahagiaan saat kekasihnya mati?! Tapi sungguh, percayalah!
Sesungguhnya,
wanita berbibir merah itu begitu mencintai kekasihnya. Dan sang kekasih pun sebenarnya tidak mati. Dia hanya pergi menuju
keabadian.
Pada tegukan pertama, wanita berbibir merah itu kembali
ke masa lalunya.
****
Kedai kopi seperti biasa selalu dipenuhi orang-orang yang
sedang merayakan kebahagiaan dan mengharap kebahagiaan. Begitupula dengan
wanita berbibir merah itu. Ini kali pertama dia mengunjungi kedai kopi. Wanita
berbibir merah itu sangat membutuhkan kebahagiaan. Dia sudah lelah dengan
hidupnya yang terlalu menyedihkan. Hatinya berulang kali dipatahkan. Dan pada
patah hati kali ini, dia ingin ini menjadi patah hati yang terakhir kali.
Beberapa menit berlalu dan wanita itu belum memesan kopi.
Dia masih memandangi deretan menu di meja sembari menikmati melankolisme
gerimis yang dibalut alunan sendu Everybody
Hurts oleh sang penyanyi di kedai itu. Sang pelayan yang mulai jengah
meninggalkan wanita itu dengan secarik kertas dan pulpen; berharap dengan sangat, wanita
yang bibirnya merah merona itu segera menulis kopi pesanannya.
“Tempat ini punya bermacam-macam kopi yang mampu
menghilangkan kesedihan dan keinginan bunuh diri,” penyanyi yang baru saja
melantunkan Everybody Hurts tiba-tiba
muncul di hadapannya. “Kau
pilih kopi yang mana?”[3]
lanjut lelaki itu sembari meneguk kopi di tangannya.
“Aku pilih kopimu.”[4]
Lelaki itu tersenyum melihat wanita
itu
meminum kopi yang seharusnya menjadi miliknya.
“Ada banyak kopi disini, tetapi mengapa kau pilih kopi
yang sudah diminum oleh orang yang belum kau kenal?” lelaki itu tersenyum
lebar.
“Aku juga tak tahu. Hanya saja, saat melihat kau mencium
aroma kopi ini dan meminumnya walau hanya sedikit, ada kebahagiaan memancar
dari matamu. Dan terkadang kebahagiaan tak memerlukan alasan, bukan?”
“Dengan kopi, kita tak pernah kesepian.” Lelaki itu
kembali menuju panggung. Kali ini dia tak lagi menghadirkan kesedihan lewat Everybody Hurts. Lelaki itu membawa
kebahagian yang dibungkusnya dengan alunan lagu Join Kopi dari grup musik Blackout. Kebahagiaan pun semakin menyatu
dengan jiwa orang-orang yang menikmati kopi di kedai itu, saat lantunan Join Kopi dilanjutkan
dengan sajak tentang kopi yang diiringi
harmonika dan gitar akustik.
Begitulah
cara mereka berkenalan. Aneh memang. Tetapi, yah, begitulah. Cinta datang
dengan caranya sendiri. Dan kau tak akan bisa mengusirnya.
Sejak perkenalan yang aneh itu, hari-hari wanita yang
bibirnya merah merona tersebut berlalu penuh dengan cinta. Namun, tetap
saja kekhawatiran masih menyelip di tengah hati yang penuh cinta.
Hidup memang aneh sekali. Ada bahagia, ada sedih. Ada
cinta, ada sakit. Ada tawa, ada tangis. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada
pengkhianatan, tetapi susah sekali untuk menemukan kesetiaan. Maka pada cinta
yang datang kali ini, wanita berbibir merah itu memutuskan untuk benar-benar
mengabadikan cintanya agar hatinya tidak kembali patah.
Segala
cara pun dilakukan
untuk mempertahankan cintanya.
Mulai dengan mengabadikannya lewat puisi sampai berusaha menjaga bibirnya agar
tetap merah acapkali bertemu dengan kekasihnya.
“Merah selalu menarik. Merah selalu menyala. Merah adalah
cinta yang membara. Dan merah, selalu meninggalkan jejak yang sulit hilang
acapkali aku berciuman dengan kekasihku,” ucapnya usai memastikan bahwa merah
di bibirnya melekat dengan sempurna sebelum kekasihnya tiba.
Dan saat sang waktu
hadir, wanita itu langsung memberi sang kekasih secangkir kopi juga kecupan
yang sungguh hangat dan begitu panjang. Usai berciuman, mereka kembali
menikmati kopi bersama. Lalu lima menit usai menandas secangkir kopi, sang kekasih mati
dengan jejak gincu
merah yang melekat di bibir
dan lehernya.
****
Tak ada yang tahu bahwa di balik gincu merahnya, wanita
itu telah mencampurnya dengan racun paling mahal. Juga tidak ada yang tahu,
bahwa kopi yang disajikannya untuk sang kekasih juga diberinya racun serangga
merek ternama. Tetapi ku mohon jangan salah sangka, wanita itu bukan wanita
jahat. Wanita itu tidak membunuh kekasihnya. Wanita berbibir merah itu hanya
mengabadikan cinta kekasihnya agar tak dimiliki orang lain. Kau tahu kan, keabadian tak pernah ada dalam
hidup. Dan aku juga sudah mengatakan padamu bahwa hidup ini
sungguh aneh. Ada banyak pengkhianatan, tetapi sulit sekali untuk menemukan
kesetiaan. Atau mungkin, kesetiaan itu memang tak pernah ada?
Maka
usai menikmati kopi pesanannya, wanita berbibir merah itu kembali menemui
kekasihnya yang terbaring kaku di kamarnya. Lalu membacakan puisi tentang kopi
dan kemudian, wanita itu kembali menikmati secangkir kopi yang diracik sendiri
di rumahnya. Usai meminum habis kopinya, wanita itu mencium kekasihnya dan
memeluknya erat sekali.
Dalam
sekejap, bibirnya yang kemerahan itu pun dipenuhi dengan busa dan wanita itu
pun tertidur panjang tak pernah terbangun lagi.
Dan sejak saat itu pula, wanita berbibir merah itu tak
pernah lagi merasakan sakitnya patah hati. []
[1] Puisi yang dimaksud adalah
Surat Kopi karya Joko Pinurbo
[2]
Paragraf ini terinspirasi dari puisi Surat Kopi karya Joko Pinurbo
[3]
Dialog yang diucapkan oleh tokoh lelaki ini juga terinspirasi dari puisi Surat
Kopi
[4]
Dialog yang diucapkan oleh tokoh wanita berbibir merah ini merupakan petikan
dari puisi Surat Kopi
*cerpen ini pernah dimuat di buanakata.com edisi 28 agustus 2016
No comments:
Post a Comment