Wednesday, December 21, 2016

KOPI, PUISI, DAN BIBIR MERAH

Oleh
Ariska Anggraini

Setelah dirasa gincu merah menempel sempurna pada bibirnya, wanita itu bergegas menuju kedai kopi. Hari ini adalah hari yang patut dirayakan. Meskipun pada hari yang patut dirayakan ini sang kekasih tak dapat mendampinginya, wanita dengan bibirnya yang kini merah itu tetap bahagia. Wanita itu teringat sebuah puisi dari penyair kesayangannya: kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi[1]. Begitupula dengan kebahagiaan. Karena itulah, wanita dengan bibir merahnya itu mengunjungi kedai kopi. Hari ini dia merasa bahagia. Dan kebahagiaan tetap harus dirayakan meskipun tak lengkap.
Usai secangkir kopi hitam pekat terhidang di mejanya, wanita itu tak langsung mencicipinya. Aroma kopi ia biarkan merasuki tubuhnya terlebih dahulu. Rasa nikmat menyatu dalam sukmanya walau setetes kopi pun belum membasahi bibir merahnya. Memang benarlah jika empat cangkir kopi setiap hari mampu menjauhkan kepala dari bunuh diri, tetapi tidak dengan kematian. Tak ada yang bisa menjauhkan kematian dari kepala siapapun. Tiap kepala pasti mati, walau tak semua kepala akan mati dengan membunuh dirinya sendiri. Dan kini, lima menit sebelum wanita itu mengecup cangkir kopi dengan bibir merahnya, dia teringat akan kekasihnya. Kekasihnya mati. Tepat lima menit usai meminum secangkir kopi.[2]
Kalian pasti berpikir bahwa wanita berbibir merah itu adalah wanita yang paling jahat di dunia ini. Bagaimana mungkin seorang wanita merayakan kebahagiaan saat kekasihnya mati?! Tapi sungguh, percayalah! Sesungguhnya, wanita berbibir merah itu begitu mencintai kekasihnya. Dan sang kekasih pun  sebenarnya tidak mati. Dia hanya pergi menuju keabadian.
            Pada tegukan pertama, wanita berbibir merah itu kembali ke masa lalunya.
****
            Kedai kopi seperti biasa selalu dipenuhi orang-orang yang sedang merayakan kebahagiaan dan mengharap kebahagiaan. Begitupula dengan wanita berbibir merah itu. Ini kali pertama dia mengunjungi kedai kopi. Wanita berbibir merah itu sangat membutuhkan kebahagiaan. Dia sudah lelah dengan hidupnya yang terlalu menyedihkan. Hatinya berulang kali dipatahkan. Dan pada patah hati kali ini, dia ingin ini menjadi patah hati yang terakhir kali.
            Beberapa menit berlalu dan wanita itu belum memesan kopi. Dia masih memandangi deretan menu di meja sembari menikmati melankolisme gerimis yang dibalut alunan sendu Everybody Hurts oleh sang penyanyi di kedai itu. Sang pelayan yang mulai jengah meninggalkan wanita itu dengan secarik kertas dan pulpen; berharap dengan sangat, wanita yang bibirnya merah merona itu segera menulis kopi pesanannya. 
            “Tempat ini punya bermacam-macam kopi yang mampu menghilangkan kesedihan dan keinginan bunuh diri,” penyanyi yang baru saja melantunkan Everybody Hurts tiba-tiba muncul di hadapannya. “Kau pilih kopi yang mana?”[3] lanjut lelaki itu sembari meneguk kopi di tangannya.
            “Aku pilih kopimu.”[4] Lelaki itu tersenyum melihat wanita itu meminum kopi yang seharusnya menjadi miliknya.
            “Ada banyak kopi disini, tetapi mengapa kau pilih kopi yang sudah diminum oleh orang yang belum kau kenal?” lelaki itu tersenyum lebar.
            “Aku juga tak tahu. Hanya saja, saat melihat kau mencium aroma kopi ini dan meminumnya walau hanya sedikit, ada kebahagiaan memancar dari matamu. Dan terkadang kebahagiaan tak memerlukan alasan, bukan?”
            “Dengan kopi, kita tak pernah kesepian.” Lelaki itu kembali menuju panggung. Kali ini dia tak lagi menghadirkan kesedihan lewat Everybody Hurts. Lelaki itu membawa kebahagian yang dibungkusnya dengan alunan lagu Join Kopi dari grup musik Blackout. Kebahagiaan pun semakin menyatu dengan jiwa orang-orang yang menikmati kopi di kedai itu, saat lantunan Join Kopi dilanjutkan dengan sajak tentang kopi yang diiringi harmonika dan gitar akustik.
            Begitulah cara mereka berkenalan. Aneh memang. Tetapi, yah, begitulah. Cinta datang dengan caranya sendiri. Dan kau tak akan bisa mengusirnya.
            Sejak perkenalan yang aneh itu, hari-hari wanita yang bibirnya merah merona tersebut berlalu penuh dengan cinta. Namun, tetap saja kekhawatiran masih menyelip di tengah hati yang penuh cinta.
            Hidup memang aneh sekali. Ada bahagia, ada sedih. Ada cinta, ada sakit. Ada tawa, ada tangis. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada pengkhianatan, tetapi susah sekali untuk menemukan kesetiaan. Maka pada cinta yang datang kali ini, wanita berbibir merah itu memutuskan untuk benar-benar mengabadikan cintanya agar hatinya tidak kembali patah.
            Segala cara pun dilakukan untuk mempertahankan cintanya. Mulai dengan mengabadikannya lewat puisi sampai berusaha menjaga bibirnya agar tetap merah acapkali bertemu dengan kekasihnya.
            “Merah selalu menarik. Merah selalu menyala. Merah adalah cinta yang membara. Dan merah, selalu meninggalkan jejak yang sulit hilang acapkali aku berciuman dengan kekasihku,” ucapnya usai memastikan bahwa merah di bibirnya melekat dengan sempurna sebelum kekasihnya tiba.
            Dan saat sang waktu hadir, wanita itu langsung memberi sang kekasih secangkir kopi juga kecupan yang sungguh hangat dan begitu panjang. Usai berciuman, mereka kembali menikmati kopi bersama. Lalu lima menit usai menandas secangkir kopi, sang kekasih mati dengan jejak gincu merah yang melekat di bibir dan lehernya.


****
            Tak ada yang tahu bahwa di balik gincu merahnya, wanita itu telah mencampurnya dengan racun paling mahal. Juga tidak ada yang tahu, bahwa kopi yang disajikannya untuk sang kekasih juga diberinya racun serangga merek ternama. Tetapi ku mohon jangan salah sangka, wanita itu bukan wanita jahat. Wanita itu tidak membunuh kekasihnya. Wanita berbibir merah itu hanya mengabadikan cinta kekasihnya agar tak dimiliki orang lain. Kau tahu kan, keabadian tak pernah ada dalam hidup. Dan aku juga sudah mengatakan padamu bahwa hidup ini sungguh aneh. Ada banyak pengkhianatan, tetapi sulit sekali untuk menemukan kesetiaan. Atau mungkin, kesetiaan itu memang tak pernah ada?
            Maka usai menikmati kopi pesanannya, wanita berbibir merah itu kembali menemui kekasihnya yang terbaring kaku di kamarnya. Lalu membacakan puisi tentang kopi dan kemudian, wanita itu kembali menikmati secangkir kopi yang diracik sendiri di rumahnya. Usai meminum habis kopinya, wanita itu mencium kekasihnya dan memeluknya erat sekali. Dalam sekejap, bibirnya yang kemerahan itu pun dipenuhi dengan busa dan wanita itu pun tertidur panjang tak pernah terbangun lagi.
            Dan sejak saat itu pula, wanita berbibir merah itu tak pernah lagi merasakan sakitnya patah hati. []


[1] Puisi yang dimaksud adalah Surat Kopi karya Joko Pinurbo
[2] Paragraf ini terinspirasi dari puisi Surat Kopi karya Joko Pinurbo
[3] Dialog yang diucapkan oleh tokoh lelaki ini juga terinspirasi dari puisi Surat Kopi
[4] Dialog yang diucapkan oleh tokoh wanita berbibir merah ini merupakan petikan dari puisi Surat Kopi

*cerpen ini pernah dimuat di buanakata.com edisi 28 agustus 2016

No comments:

Post a Comment