Wednesday, December 21, 2016

SURGA DI TELAPAK KAKI SERIGALA

Cerpen ini menjadi juara pertama dalam lomba cerpen nasional yang diadakan oleh Balairung Pres UGM tahun 2015 dan pertama kali di publikasikan dalam antologi KUMPULAN CERPEN TERPILIH BALAIRUNG)




Jika ternyata ibumu seekor serigala, apa kau percaya bahwa surga ada di bawah telapak kakinya?
Perempuan muda itu sebenarnya masih berusa tujuh belas tahun, tetapi kehidupan yang terlalu kelam membuat wajahnya tampak lima tahun lebih tua dari usianya. Kini dia duduk sendiri di ruang tamu dengan sebotol bir yang biasa disimpan ibunya di atas lemari. Jangan berharap menemukan foto keluarga yang bahagia disana. Ibunya telah menghancurkan semuanya. Saat kenangan itu melintas, kesedihan mengalir deras di hatinya. Lalu dia mengangkat sebotol bir di hadapannya dan memasukkan ujung botol ke mulutnya. Rasa nyaman langsung menjalar di kepalanya walau hanya seteguk bir yang masuk. Yah, ini memang kali pertama dia mencoba minuman beralkohol. Dia sudah tak tahan dengan hidupnya  yang terlalu menyedihkan. Karena itulah, perempuan muda itu butuh bir. Setelah bir itu melewati kerongkonganya, perempuan muda itu menyadari mengapa mulut sang ibu selalu beraroma alkohol. Ibunya selalu bersedih dan kesedihan memang tak pernah bisa hidup sendiri.
“Bapakmu itu anjing kurap. Kini dia telah berbahagia karena menemukan mangsa baru,” perempuan muda itu teringat kata-kata ibunya.
Bapaknya dulu pernah berkata padanya bahwa ia akan pergi ke negeri tetangga untuk mencari rezeki. Tapi perempuan muda yang usianya belum genap tujuh belas tahun itu tahu, kalau saat itu bapaknya sedang berbohong. Negeri yang ditinggalinya cukup kaya. Emas melimpah, hasil bumi tumpah ruah, samudera dihinggapi banyak ikan. Sekedar memenuhi kebutuhan hidup orang-orang kecil seperti mereka, pasti cukup. Tak perlu mengemis ke negeri seberang. Dan perempuan muda itu yakin bahwa penyebab kepergian ayahnya adalah ibunya yang telah berubah menjadi seekor serigala.
Seekor kucing menyelinap masuk dan menaiki meja. Ekornya yang bergerak ke kanan dan ke kiri, mengenai vas bunga. Vas tersebut jatuh dan pecah berkeping-keping. Mengingatkan perempuan muda itu akan ibunya yang suka membanting seisi rumah.
 “Dasar lelaki tak berguna.”
Itulah kalimat yang selalu sang ibu berikan untuk bapaknya. Sembari membanting apapun yang ada dihadapannya, lalu melolong panjang bagai serigala lapar. Pada hari- hari yang mencekam, ibunya juga sering melolong panjang begitu memilukan dan memohon kematian agar cepat datang. Perempuan muda itu sebenarnya ingin membantu ibunya agar cepat mati. Tapi itu tidak mungkin dia lakukan. Perempuan muda itu tidak mungkin membunuh ibunya sendiri. Orang-orang pasti akan menuduhnya anak durhaka dan mengucap sumpah serapah agar dia kekal di dalam api neraka.
“Ah, apa membiarkan ibu hidup juga akan mendatangkan surga?” perempuan muda itu menggumam.
            Perempuan muda itu kembali meminum bir di hadapannya. Kali ini isinya telah tandas setengah botol. Tapi perempuan itu masih bisa mengingat cerita yang didapat dari gurunya saat dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Gurunya itu pernah bercerita tentang surga. Dengan wajah yang begitu meyakinkan, sang guru mengatakan bahwa surga dengan segala keindahan di dalamnya ada di bawah telapak kaki seorang ibu.

“Bagaimana mungkin sebuah tempat yang penuh keindahan dengan sungai-sungai mengalir di bawahnya bersarang di telapak kaki seekor serigala?” perempuan muda itu tak dapat mempercayai cerita gurunya.
Malam semakin gelap. Tetangga telah tertidur lelap. Setan-setan sedang berkeliaran mencari mangsa. Perempuan itu masih dapat mengingat ibunya yang selalu pulang saat malam terlalu pekat dengan bau alkohol yang terlalu tajam. Bahkan terkadang, ibunya pulang dengan membawa setan. Lewat celah pintu kamar yang tak tertutup rapat, perempuan muda itu bisa melihat betapa menjijikannya saat tubuh sang ibu menyatu dengan tubuh setan.
“Ah, bapak...,” perempuan itu kembali menggumam pelan
“Jangan berharap banyak pada bapakmu. Bapakmu itu anjing kurap,” perempuan muda itu kembali teringat ucapan ibunya.
“Dimana ibu bertemu ayah?”
“Tentu saja di hutan. Kau pikir bisa bertemu anjing di tempat ibadah.” Sorot mata serigala yang muncul di mata ibunya saat itu, tak dapat dia lupakan.
****
Purnama bersinar keperakan menembus kaca jendela. Kuning keemasan. Persis seperti lampu yang menghiasi taman pabrik kertas yang tak jauh dari rumahnya. Terbayang dalam pikiran perempuan muda itu saat pabrik kertas tempat dulu bapaknya bekerja berdiri dengan pongah, senyum bapak dan ibunya tak pernah memudar meskipun harga sembako terlampau tinggi. Namun sejak para tikus berdasi menggerogotinya, perlahan-lahan pabrik kertas tersebut roboh. Para pekerjanya__termasuk bapak perempuan muda itu__tak dapat menikmati hasil jerih payah sendiri. Hingga kemudian, mereka semua dipecat tanpa pesangon. Ibunya berubah menjadi serigala. Rumahnya selalu tertutup kabut. Lalu bapaknya pamit pergi ke negeri tetangga dan entah kapan akan kembali. Bahkan kabar pun, tak pernah bapaknya bagi. Benar-benar hidup yang menyedihkan.
Pernah suatu hari, perempuan muda itu bertanya perihal bapaknya yang tak kunjung pulang. Namun ibunya meradang. Dengan api yang berkobar di matanya, sang ibu berkata, ”Aku sudah berkali-kali berkata bahwa bapakmu itu anjing kurap. Jangan berharap apapun darinya!” Lalu rotan menghujani seluruh tubuhnya. Sejak saat itulah perempuan muda itu tak berani membicarakan bapaknya. Sebab perempuan itu takut kalau hal serupa akan terjadi.
“Bapak, apa kau berharap aku mati sia-sia diterkam serigala?” ucapnya.
Waktu telah melewati tengah malam. Perempuan itu memandangi botol bir yang telah kosong setengahnya. Perempuan itu dapat merasakan bahwa di hatinya juga terdapat ruang kosong. Persis botol bir yang ada di hadapannya. Kosong. Hampa. Sedangkan di luar sana, terdengar bunyi angin. Kesunyian semakin tebal menyelimutinya.
Perempuan muda itu menerawang ke luar jendela. Di sana dia melihat kucing peliharaanya yang baru saja melahirkan sedang tertidur pulas dengan memeluk anak-anaknya. Waktu berlalu begitu cepat. Saat bapaknya tinggal di rumah, kucing itu masih kecil. Bapaknyalah yang membawa kucing itu dengan dalih iba.
“Kasihan. Sepertinya dia ditelantarkan orang tuanya. Meskipun hanya kucing kampung, tetapi dia manis, kok. Kita beri nama dia Si Manis saja,” begitu kata bapaknya.
“Nasibmu tak jauh beda dengan ibuku. Lihat! Suamimu pergi meninggalkanmu. Anak-anakmu hidup tanpa bapaknya. Sama seperti aku, tetapi anakmu masih beruntung. Karena ibunya hanya seekor kucing. Bukan serigala seperti ibuku,” ucap perempuan muda itu sembari memandangi kucingnya dari jendela.
            “Pasti nyaman bisa tidur dalam dekapan ibu,” pikirnya.
Perempuan muda itu merasa iri. Anak-anak kucing yang juga ditinggal bapaknya itu bisa dengan mudah tertidur lelap dalam dekapan ibunya. Sedangkan dia...
            “Ah, ibuku seekor serigala. Mana mungkin seekor serigala mempunyai kehangatan dalam hatinya,” perempuan muda itu menggumam lagi.
            Waktu telah melewati tengah malam. Perempuan itu tak kunjung tidur. Dia malah menenggak kembali bir yang telah tandas setengahnya dan kini hanya menyisahkan sepertiga ruang kosong dari botolnya. 
            “Ruang kosong di hatiku lebih besar daripada botol bir ini.”
            Perempuan muda itu menyingsingkan lengan panjang bajunya hingga ke siku. Terlihat jejak-jejak rotan mewarnai tangannya. Tentu saja itu karena ibunya. Dan ibunya memang tak selalu membutuhkan alasan untuk menghujani perempuan muda itu dengan rotan.
            “Bahkan seekor kucing pun tetaplah ibu bagi anak-anaknya,” ucapnya sembari memandangi tangannya.
            Dan saat bir dihadapanya benar-benar tandas, matahari pun terbangun. Malam begitu cepat berlari. Si Manis dan ketiga anaknya turut terbangun. Lalu kucing itu menjilati anak-anaknya satu persatu dan menyusui mereka.
 “Seorang ibu tetaplah seorang ibu,” ucapnya. Tanpa terasa air mata jatuh saat melihat anak-anak kucing yang sedang menyusu itu.
Lalu dia beranjak dari kursi yang sedari malam di dudukinya. Dia melangkah sempoyongan. Di depan kamar ibunya, dia termangu. Dibukanya perlahan pintu kamar sang ibu. Lalu dia memasukinya dan membuka jendela. Cahaya matahari menyembul dan membuat kaki ibunya bercahaya.
            “Surga.”
            Perempuan muda itu segera mencium kedua telapak kaki ibunya. Lalu dia naik ke atas ranjang, memeluk ibunya dan terlelap. Lelap sekali. Betapa dia merindukan saat-saat seperti ini.
****
            Saat itu pukul sebelas malam. Sebagian besar tetangga sudah tertidur lelap. Setan-setan mulai menguarkan aroma busuknya. Purnama bersinar keperakan. Seorang wanita berusia hampir berkepala empat mengetuk pintu rumah.
            “Ah, lama sekali. Dasar anak tak berguna, persis bapaknya!” wanita itu muntah dan melangkah ke kamarnya dengan sempoyongan. Lalu kembali ke ruang tamu sembari berteriak, “Heh, anak anjing, cepat kemari!”
Perempuan muda yang sedang mengelap muntahan wanita itu tak bisa melawan. Diseretnya tubuh perempuan muda itu ke dalam kamar. Dalam sekejap sabetan rotan telah membanjiri tubuh kurusnya. Tentu saja tubuh perempuan muda itu remuk. Namun hatinya jauh lebih remuk.
“Hahaha. Dasar anjing kurap!” ucap wanita yang sedang mabuk itu sembari mengakhiri sabetan rotannya. Lalu dia merangkak ke atas ranjang, tertidur pulas dengan posisi tengkurap dan kedua kaki terbuka lebar. Perempuan muda itu begitu jijik melihatnya.
Perempuan muda itu melangkah ke dapur untuk mencari segelas air sebagai penenang hatinya. Namun, sebilah pisau yang terletak di meja makan tampak mengkilat di matanya. Perempuan muda itu mengambilnya. Kakinya melangkah menuju kamar wanita yang kini tertidur pulas. Di pandanginya tubuh wanita yang telah berubah menjadi serigala. Bau serigala menusuk hidungnya. Perempuan muda itu ingin muntah. Lalu dia mendenguskan napas dan mengangkat pisau yang baru saja diambilnya. Tanpa memikirkan sumpah serapah atau apapun yang akan diucapkan orang lain, dia tancapkan pisau itu tepat di punggung ibunya. Dalam sekejap darah membanjiri seluruh ranjang.
****

No comments:

Post a Comment