Cerpen ini menjadi juara pertama dalam lomba cerpen nasional yang diadakan oleh Balairung Pres UGM tahun 2015 dan pertama kali di publikasikan dalam antologi KUMPULAN CERPEN TERPILIH BALAIRUNG)
Jika ternyata ibumu seekor serigala, apa kau percaya
bahwa surga ada di bawah telapak kakinya?
Perempuan
muda itu sebenarnya masih berusa tujuh belas tahun, tetapi kehidupan yang terlalu
kelam membuat wajahnya tampak lima tahun lebih tua dari usianya. Kini dia duduk
sendiri di ruang tamu dengan sebotol bir yang biasa disimpan ibunya di atas
lemari. Jangan berharap menemukan foto keluarga yang bahagia disana. Ibunya
telah menghancurkan semuanya. Saat kenangan itu melintas, kesedihan mengalir
deras di hatinya. Lalu dia mengangkat sebotol bir di hadapannya dan memasukkan
ujung botol ke mulutnya. Rasa nyaman langsung menjalar di kepalanya walau hanya
seteguk bir yang masuk. Yah, ini memang kali pertama dia mencoba minuman beralkohol.
Dia sudah tak tahan dengan hidupnya yang
terlalu menyedihkan. Karena itulah, perempuan muda itu butuh bir. Setelah bir
itu melewati kerongkonganya, perempuan muda itu menyadari mengapa mulut sang
ibu selalu beraroma alkohol. Ibunya selalu bersedih dan kesedihan memang tak
pernah bisa hidup sendiri.
“Bapakmu
itu anjing kurap. Kini dia telah berbahagia karena menemukan mangsa baru,”
perempuan muda itu teringat kata-kata ibunya.
Bapaknya
dulu pernah berkata padanya bahwa ia akan pergi ke negeri tetangga untuk
mencari rezeki. Tapi perempuan muda yang usianya belum genap tujuh belas tahun
itu tahu, kalau saat itu bapaknya sedang berbohong. Negeri yang
ditinggalinya cukup kaya. Emas
melimpah, hasil bumi tumpah ruah, samudera dihinggapi banyak ikan.
Sekedar memenuhi kebutuhan
hidup orang-orang kecil seperti mereka, pasti cukup. Tak perlu
mengemis ke negeri seberang. Dan perempuan
muda itu yakin bahwa penyebab kepergian ayahnya adalah ibunya yang telah
berubah menjadi seekor serigala.
Seekor
kucing menyelinap masuk dan menaiki meja. Ekornya yang bergerak ke kanan dan ke
kiri, mengenai vas bunga. Vas tersebut jatuh dan pecah berkeping-keping. Mengingatkan
perempuan muda itu akan ibunya yang suka membanting seisi rumah.
“Dasar lelaki tak berguna.”
Itulah
kalimat yang selalu sang ibu berikan untuk bapaknya. Sembari membanting apapun
yang ada dihadapannya, lalu melolong panjang bagai serigala lapar. Pada hari-
hari yang mencekam, ibunya juga sering melolong panjang begitu memilukan dan memohon
kematian agar cepat datang. Perempuan muda itu sebenarnya ingin membantu ibunya
agar cepat mati. Tapi itu tidak mungkin dia lakukan. Perempuan muda itu tidak
mungkin membunuh ibunya sendiri. Orang-orang pasti akan menuduhnya anak durhaka
dan mengucap sumpah serapah agar dia kekal di dalam api neraka.
“Ah,
apa membiarkan ibu hidup juga akan mendatangkan surga?” perempuan muda itu menggumam.
Perempuan muda itu kembali meminum
bir di hadapannya. Kali ini isinya telah tandas setengah botol. Tapi perempuan
itu masih bisa mengingat cerita yang didapat dari gurunya saat dia masih duduk
di bangku sekolah dasar. Gurunya itu pernah bercerita tentang surga. Dengan
wajah yang begitu meyakinkan, sang guru mengatakan bahwa surga dengan segala
keindahan di dalamnya ada di bawah telapak kaki seorang ibu.
“Bagaimana
mungkin sebuah tempat yang penuh keindahan dengan sungai-sungai mengalir di
bawahnya bersarang di telapak kaki seekor serigala?” perempuan muda itu tak
dapat mempercayai cerita gurunya.
Malam
semakin gelap. Tetangga telah tertidur lelap. Setan-setan sedang berkeliaran
mencari mangsa. Perempuan itu masih dapat mengingat ibunya yang selalu pulang
saat malam terlalu pekat dengan bau alkohol yang terlalu tajam. Bahkan
terkadang, ibunya pulang dengan membawa setan. Lewat celah pintu kamar yang tak
tertutup rapat, perempuan muda itu bisa melihat betapa menjijikannya saat tubuh
sang ibu menyatu dengan tubuh setan.
“Ah,
bapak...,” perempuan itu kembali menggumam pelan
“Jangan
berharap banyak pada bapakmu. Bapakmu itu anjing kurap,” perempuan muda itu
kembali teringat ucapan ibunya.
“Dimana
ibu bertemu ayah?”
“Tentu
saja di hutan. Kau pikir bisa bertemu anjing di tempat ibadah.” Sorot mata serigala
yang muncul di mata ibunya saat itu, tak dapat dia lupakan.
****
Purnama
bersinar keperakan menembus kaca jendela. Kuning keemasan. Persis seperti lampu
yang menghiasi taman pabrik kertas yang tak jauh dari rumahnya. Terbayang dalam
pikiran perempuan muda itu saat pabrik kertas tempat dulu bapaknya bekerja berdiri
dengan pongah, senyum bapak dan ibunya tak pernah memudar meskipun harga
sembako terlampau tinggi. Namun sejak para tikus berdasi menggerogotinya, perlahan-lahan
pabrik kertas tersebut roboh. Para pekerjanya__termasuk bapak
perempuan muda itu__tak dapat menikmati hasil jerih payah sendiri.
Hingga kemudian, mereka semua dipecat tanpa pesangon. Ibunya berubah menjadi
serigala. Rumahnya selalu tertutup kabut. Lalu bapaknya pamit pergi ke negeri
tetangga dan entah kapan akan kembali. Bahkan kabar pun, tak pernah bapaknya bagi.
Benar-benar hidup yang menyedihkan.
Pernah
suatu hari, perempuan muda itu bertanya perihal bapaknya yang tak kunjung
pulang. Namun ibunya meradang. Dengan api yang berkobar di matanya, sang ibu
berkata, ”Aku sudah berkali-kali berkata bahwa bapakmu itu anjing kurap. Jangan
berharap apapun darinya!” Lalu rotan menghujani seluruh tubuhnya. Sejak
saat itulah perempuan muda itu tak berani
membicarakan bapaknya. Sebab perempuan itu takut kalau hal serupa akan terjadi.
“Bapak,
apa kau berharap aku mati sia-sia diterkam serigala?” ucapnya.
Waktu
telah melewati tengah malam. Perempuan itu memandangi botol bir yang telah
kosong setengahnya. Perempuan itu dapat merasakan bahwa di hatinya juga terdapat
ruang kosong. Persis botol bir yang ada di hadapannya. Kosong. Hampa. Sedangkan
di luar sana, terdengar bunyi angin. Kesunyian semakin tebal menyelimutinya.
Perempuan
muda itu menerawang ke luar jendela. Di sana dia melihat kucing peliharaanya
yang baru saja melahirkan sedang tertidur pulas dengan memeluk anak-anaknya.
Waktu berlalu begitu cepat. Saat bapaknya tinggal di rumah, kucing itu masih
kecil. Bapaknyalah yang membawa kucing itu dengan dalih iba.
“Kasihan.
Sepertinya dia ditelantarkan orang tuanya. Meskipun hanya kucing kampung,
tetapi dia manis, kok. Kita beri nama dia Si Manis saja,” begitu kata bapaknya.
“Nasibmu
tak jauh beda dengan ibuku. Lihat! Suamimu pergi meninggalkanmu. Anak-anakmu
hidup tanpa bapaknya. Sama seperti aku, tetapi anakmu masih beruntung. Karena
ibunya hanya seekor kucing. Bukan serigala seperti ibuku,” ucap perempuan muda
itu sembari memandangi kucingnya dari jendela.
“Pasti nyaman bisa tidur dalam
dekapan ibu,” pikirnya.
Perempuan
muda itu merasa iri. Anak-anak kucing yang juga ditinggal bapaknya itu bisa
dengan mudah tertidur lelap dalam dekapan ibunya. Sedangkan dia...
“Ah, ibuku seekor serigala. Mana
mungkin seekor serigala mempunyai kehangatan dalam hatinya,” perempuan muda itu
menggumam lagi.
Waktu telah melewati tengah malam.
Perempuan itu tak kunjung tidur. Dia malah menenggak kembali bir yang telah
tandas setengahnya dan kini hanya menyisahkan sepertiga ruang kosong dari
botolnya.
“Ruang kosong di hatiku lebih besar
daripada botol bir ini.”
Perempuan muda itu menyingsingkan
lengan panjang bajunya hingga ke siku. Terlihat jejak-jejak rotan mewarnai
tangannya. Tentu saja itu karena ibunya. Dan ibunya memang tak selalu membutuhkan
alasan untuk menghujani perempuan muda itu dengan rotan.
“Bahkan seekor kucing pun tetaplah ibu
bagi anak-anaknya,” ucapnya sembari memandangi tangannya.
Dan saat bir dihadapanya benar-benar
tandas, matahari pun terbangun. Malam begitu cepat berlari. Si Manis dan ketiga
anaknya turut terbangun. Lalu kucing itu menjilati anak-anaknya satu persatu
dan menyusui mereka.
“Seorang ibu tetaplah seorang ibu,” ucapnya. Tanpa
terasa air mata jatuh saat melihat anak-anak kucing yang sedang menyusu itu.
Lalu
dia beranjak dari kursi yang sedari malam di dudukinya. Dia melangkah
sempoyongan. Di depan kamar ibunya, dia termangu. Dibukanya perlahan pintu kamar
sang ibu. Lalu dia memasukinya dan membuka jendela. Cahaya matahari menyembul
dan membuat kaki ibunya bercahaya.
“Surga.”
Perempuan muda itu segera mencium
kedua telapak kaki ibunya. Lalu dia naik ke atas ranjang, memeluk ibunya dan
terlelap. Lelap sekali. Betapa dia merindukan saat-saat seperti ini.
****
Saat itu pukul sebelas malam.
Sebagian besar tetangga sudah tertidur lelap. Setan-setan mulai menguarkan
aroma busuknya. Purnama bersinar keperakan. Seorang wanita berusia hampir
berkepala empat mengetuk pintu rumah.
“Ah, lama sekali. Dasar anak tak
berguna, persis bapaknya!” wanita itu muntah dan melangkah ke kamarnya dengan
sempoyongan. Lalu kembali ke ruang tamu sembari berteriak, “Heh, anak anjing,
cepat kemari!”
Perempuan
muda yang sedang mengelap muntahan wanita itu tak bisa melawan. Diseretnya
tubuh perempuan muda itu ke dalam kamar. Dalam sekejap sabetan rotan telah
membanjiri tubuh kurusnya. Tentu saja tubuh perempuan muda itu remuk. Namun
hatinya jauh lebih remuk.
“Hahaha.
Dasar anjing kurap!” ucap wanita yang sedang mabuk itu sembari mengakhiri
sabetan rotannya. Lalu dia merangkak ke atas ranjang, tertidur pulas dengan posisi
tengkurap dan kedua kaki terbuka lebar. Perempuan muda itu begitu jijik
melihatnya.
Perempuan
muda itu melangkah ke dapur untuk mencari segelas air sebagai penenang hatinya.
Namun, sebilah pisau yang terletak di meja makan tampak mengkilat di matanya.
Perempuan muda itu mengambilnya. Kakinya melangkah menuju kamar wanita yang
kini tertidur pulas. Di pandanginya tubuh wanita yang telah berubah menjadi
serigala. Bau serigala menusuk hidungnya. Perempuan muda itu ingin muntah. Lalu
dia mendenguskan napas dan mengangkat pisau yang baru saja diambilnya. Tanpa
memikirkan sumpah serapah atau apapun yang akan diucapkan orang lain, dia
tancapkan pisau itu tepat di punggung ibunya. Dalam sekejap darah membanjiri
seluruh ranjang.
****
No comments:
Post a Comment