(google images 2012)
Mak
apa kabar? Sehat kan? Ku panggil kau “Mama” saja, yah? Biar kelihatan keren
sedikit. Biar nggak kelihataan kalau
kita berasal dari sebuah kota antah berantah.
Mama, anakmu yang sedang menuntut
ilmu di tempat orang ini, rindu sekali dengan kau. Aku kangen suaramu yang
cempreng bak radio rusak itu. Aku juga kangen oseng kangkungmu yang selalu
keasinan itu. Dan yang paling aku kangenin, nyanyian yang selalu merusak saraf
pendengaranku ketika aku malas shalat lima waktu.
Semua
disini beda,Ma. Oseng kankung di kota metropolitan ini penuh MSG walaupun nggak
keasinan seperti oseng kangkungmu.
Bahkan kumandang adzan di kota full Mall
ini terkalahkan oleh deru kendaraan bermotor. Nggak ada lagi yang menyebut
ibunya dengan sebutan”Emak”. Yang ada hanya nyokap atau mama. Serasa lidah ini
melintir deh. Lebih enak manggil emak. Aku panggil kau Emak sajalah. Tak usah
sok kota.
Dulu
aku selalu merasa malu jika kau pergi ke pasar dengan daster batik yang hanya
dicuci seminggu sekali itu. Tapi itu lebih baik, Mak. Disini. Di kota yang
katanya besar ini, wanita-wanita pergi kepasar saja pake baju yang kekurangan
bahan.
Maafin
aku ya Mak. Aku tak pernah bilang I love
you padamu. Sebenarnya, ingin sekali bilang kalau aku sayang padamu. Entah
kenapa, mulutku selalu terkunci rapat jika aku ingin bilang sayang padamu. Aku
juga tak pernah memujimu. Hanya tiap kau memberi uang saku lebih saja aku
memujimu cantik. Jujur saja, jika aku
juri dalam pemilihan Miss World, kau lah yang akan ku tunjuk sebagai
pemenangnya.
Sekali
lagi aku minta maaf, Mak. Aku tak bisa menuliskan kata-kata puitis seperti aku
mengirim surat untuk kekasihku. Bahkan pelajaran sastra yang tiap senin aku
dapatkan tak bisa aku terapkan untuk menuliskan surat untukmu ini. Tapi, aku
sayang kamu kok mak. Yah. Meskipun aku tak pernah bilang langsung padamu.
Mungkin
inilah yang disebut dengan kasih yang sejati.
Sebuah rasa yang tak pernah bisa terucap dengan kata-kata. Bahkan lewat
tulisan.Untuk menulis surat ini saja aku butuh setengah rim kertas dan lima
buah pena. Memang tak gampang mengintepretasikan sebuah perasaan yang tulus.
Mungkin
kau juga sama. Iya kan, Mak? Tak pernah sekalipun kau bilang sayang padaku.
Bahkan kau tak pernah memeluk atau sekedar mencium keningku. Tapi aku tahu, kau
sayang padaku. Aku bisa mendengar doa di tiap tahajudmu. Berharap agar
kesuksesan selalu menyertaiku.
Aku
pun bisa melihat sebuah rasa cinta dalam tiap omelanmu. Dan aku pun bisa
merasakan kasihmu yang begitu pekat seperti garam yang yang kau taburkan dalam
oseng kangkungmu itu. Dan aku juga bisa mendengar rintihan kekhawatiran dalam
tiap omelanmu.
Kau
memang hebat, Mak. Kau wonder women. Dan sekaligus pembohong terhebat dalam
hidupku. Kau berbohong ketika kau bilang kalau kau sangat menyukai daster batik
yang hanya di cuci tiap seminggu sekali itu. Padahal, kau hanya takut aku tak
bisa mendapat pendidikan yang tinggi. Makanya, kau lebih memilih menyimpan
jatah belanja dari bapak untuk biaya pendidikanku daripada menambah koleksi
bajumu.
Kau
juga bohong kan, ketika kau berdalih harga gula mahal? Makanya kau hampir tak
pernah memberi gula di setiap masakanmu dan selalu menyuguhkan teh tawar tiap
sarapan. Padahal, kau cuma takut kadar gula darahku tinggi seperti bapak.
Mak,
makasih atas semua. Kau memang tak bertitel Drs
atau S.Pd. Tapi kau, adalah guru
terhebat dalam hidupku. Guru yang mengajariku kesederhanaan dengan memberi uang
saku terbatas. Dan kau, adalah orang yang mengajariku mencintai dengan tulus.
Aku
bangga puya kau mak. Ingin saja aku teriakkan pada dunia bahwa wanita yang
selalu keasinan memasak oseng kangkung dengan dalih harga gula mahal itu,
ibuku. Dan wanita yang selalu ngomel tiap tagihan rekening listrik naik itu,
ibuku. Dan wanita yang selalu bangga dengan daster kumalnya itu ibuku. Dan aku
bangga pernah memilikinya. I love you Emak.
* Dimuat di antologi Dear Mama 8
|
No comments:
Post a Comment