Friday, October 26, 2012

Pembohong Terbaik

(google images 2012)

Mak apa kabar? Sehat kan? Ku panggil kau “Mama” saja, yah? Biar kelihatan keren sedikit. Biar  nggak kelihataan kalau kita berasal dari sebuah kota antah berantah. 

Mama, anakmu yang sedang menuntut ilmu di tempat orang ini, rindu sekali dengan kau. Aku kangen suaramu yang cempreng bak radio rusak itu. Aku juga kangen oseng kangkungmu yang selalu keasinan itu. Dan yang paling aku kangenin, nyanyian yang selalu merusak saraf pendengaranku ketika aku malas shalat lima waktu.

Semua disini beda,Ma. Oseng kankung di kota metropolitan ini penuh MSG walaupun nggak  keasinan seperti oseng kangkungmu. Bahkan kumandang adzan di kota full Mall ini terkalahkan oleh deru kendaraan bermotor. Nggak ada lagi yang menyebut ibunya dengan sebutan”Emak”. Yang ada hanya nyokap atau mama. Serasa lidah ini melintir deh. Lebih enak manggil emak. Aku panggil kau Emak sajalah. Tak usah sok kota.

Dulu aku selalu merasa malu jika kau pergi ke pasar dengan daster batik yang hanya dicuci seminggu sekali itu. Tapi itu lebih baik, Mak. Disini. Di kota yang katanya besar ini, wanita-wanita pergi kepasar saja pake baju yang kekurangan bahan.

Maafin aku ya Mak. Aku tak pernah bilang I love you padamu. Sebenarnya, ingin sekali bilang kalau aku sayang padamu. Entah kenapa, mulutku selalu terkunci rapat jika aku ingin bilang sayang padamu. Aku juga tak pernah memujimu. Hanya tiap kau memberi uang saku lebih saja aku memujimu cantik. Jujur  saja, jika aku juri dalam pemilihan  Miss World,  kau lah yang akan ku tunjuk sebagai pemenangnya.

Sekali lagi aku minta maaf, Mak. Aku tak bisa menuliskan kata-kata puitis seperti aku mengirim surat untuk kekasihku. Bahkan pelajaran sastra yang tiap senin aku dapatkan tak bisa aku terapkan untuk menuliskan surat untukmu ini. Tapi, aku sayang kamu kok mak. Yah. Meskipun aku tak pernah bilang langsung padamu.

Mungkin inilah yang disebut dengan kasih yang sejati.  Sebuah rasa yang tak pernah bisa terucap dengan kata-kata. Bahkan lewat tulisan.Untuk menulis surat ini saja aku butuh setengah rim kertas dan lima buah pena. Memang tak gampang mengintepretasikan sebuah perasaan yang tulus.

Mungkin kau juga sama. Iya kan, Mak? Tak pernah sekalipun kau bilang sayang padaku. Bahkan kau tak pernah memeluk atau sekedar mencium keningku. Tapi aku tahu, kau sayang padaku. Aku bisa mendengar doa di tiap tahajudmu. Berharap agar kesuksesan selalu menyertaiku.

Aku pun bisa melihat sebuah rasa cinta dalam tiap omelanmu. Dan aku pun bisa merasakan kasihmu yang begitu pekat seperti garam yang yang kau taburkan dalam oseng kangkungmu itu. Dan aku juga bisa mendengar rintihan kekhawatiran dalam tiap omelanmu.
Kau memang hebat, Mak. Kau wonder women. Dan sekaligus pembohong terhebat dalam hidupku. Kau berbohong ketika kau bilang kalau kau sangat menyukai daster batik yang hanya di cuci tiap seminggu sekali itu. Padahal, kau hanya takut aku tak bisa mendapat pendidikan yang tinggi. Makanya, kau lebih memilih menyimpan jatah belanja dari bapak untuk biaya pendidikanku daripada menambah koleksi bajumu.

Kau juga bohong kan, ketika kau berdalih harga gula mahal? Makanya kau hampir tak pernah memberi gula di setiap masakanmu dan selalu menyuguhkan teh tawar tiap sarapan. Padahal, kau cuma takut kadar gula darahku tinggi seperti bapak.

Mak, makasih atas semua. Kau memang tak bertitel Drs atau S.Pd. Tapi kau, adalah guru terhebat dalam hidupku. Guru yang mengajariku kesederhanaan dengan memberi uang saku terbatas. Dan kau, adalah orang yang mengajariku mencintai dengan tulus.

Aku bangga puya kau mak. Ingin saja aku teriakkan pada dunia bahwa wanita yang selalu keasinan memasak oseng kangkung dengan dalih harga gula mahal itu, ibuku. Dan wanita yang selalu ngomel tiap tagihan rekening listrik naik itu, ibuku. Dan wanita yang selalu bangga dengan daster kumalnya itu ibuku. Dan aku bangga pernah memilikinya. I love you Emak.

* Dimuat di antologi Dear Mama 8

No comments:

Post a Comment