Sepedas
sambal balado buatan emak. Bahkan lebih dari itu. Pedasnya bisa sampai
menyengat hati. Untung saja dia tak hidup di zaman reformasi. Kalau tidak, dia
bisa mati tertembak oleh Petrus.
Andai
saja ini bukan rumah kos termurah dengan fasilitas yang bisa dibilang lumayan,
aku tak akan pernah mau menyewanya. Padahal sudah lima orang yang pindah dalam
waktu kurang dari sebulan karena tak tahan dengan mulut nying-nyingnya.
“ Anak
perempuan itu sebaiknya jangan pulang malam. Kalau bisa, sebelum isya sudah harus
di rumah”, celetuknya sambil menyesap secangkir teh.
“ Maaf
ya, Bu, Tapi saya baru selesai kuliah. Ini, kan, baru jam delapan lebih lima
menit”,sahutku.
“
Halah, mana ada kuliah malam-malam.”
Aku
berlalu pergi ke kamarku. Mengunci rapat dan tak memperdulikan mulut nying-nying ibu kos yang
terus mengomel. Jika aku meladeni dia, bisa-bisa sampai subuh dia akan terus
berdakwah tak karuan.
Sudahlah,
mungkin dia hanya wanita dari zaman kompeni yang tersesat di era
globlisasi. Sudah berapa kali kujelaskan padanya, aku memang mengambil
kelas malam karena di pagi hari aku harus menjadi tentor di sebuah lembaga
kursus di kota ini.
Aku tak
mungkin terlalu berharap kiriman dari bapak. Maklumlah, aku hanya seorang anak
buruh pabrik dengan tiga orang saudara yang masih butuh banyak biaya. Kuliah
saja dibiayai pemerintah. Apalagi untuk menikmati sarapan dengan menu sup ayam.
Aku masih harus mencari uang tambahan.
Apa
mungkin dia yang mau memberiku uang saku? Ah, tagihan air naik seribu rupiah
saja dia sudah kebakaran jenggot walau tak punya jenggot sekalipun. Apalagi
uang kos telat sehari? Dia sudah mengadakan konser seharian penuh dengan
nyanyian pedas melebihi sambal balado buatan emak.
****
Hari ini jadwal mengajarku cuma sampai pukul sepuluh pagi. Bahkan kuliah pun
cuma sampai pukul empat sore. Tapi bagiku, hari masih terlalu panjang untuk
dilalui dengan kembali ke kos dan melihat wajah judes wanita paruh baya itu.
Belum lagi masih harus mendengar ocehannya. Setiap hari, selalu saja ada bahan
omelan baginya. Dan lagi-lagi selalu kami, anak kos yang kena imbasnya.
Seusai kuliah aku memutuskan untuk mengitari taman kota. Mumpung aku baru
terima gaji. Sesekali memanjakan diri juga tak apa,kan?
Tak terasa sudah pukul delapan malam. Aku kembali ke tempat dimana aku harus
merelakan kupingku mendengarkan nyanyian yang merusak syaraf dan melatih
kesabaran hati. Seperti biasanya, aku selau melewati jalan setapak untuk menuju
kos. Memang, sih, jalannya sedikit gelap dan sepi. Tapi itulah jalan terdekat
menuju kos. Tak perlu angkot dan itung-itung juga menghemat ongkos.
Selama
perjalanan aku membayangkan bagaimana wajah sinis ibu kos itu. Kemudian mulut
nying-nyingnya yang siap mengeluarkan kalimat pedas. Ah, system imunitas
tubuhku sudah kebal menghadapinya. Bukan hal yang baru lagi bagiku.
“
Serahkan seluruh hartamu atau kau pulang tanpa nyawa”. Tiba-tiba
dua orang lelaki bertopeng dengan sebilah pisau menodongku.
“
Toloooong”, sekuat tenaga aku mencoba mencari bantuan
“
Hahahahahah. Percuma Nona manis. Tak ada seorang pun yang mendengar teriakanmu.
Cepat serahkan dompetmu.” Lelaki bertopeng tersebut mengancamku.
Tamat
sudah nasibku. Aku tak berkutik melawan dua lelaki bertopeng itu. Tak ada celah
untuk kabur atau meminta bantuan penduduk. Aku menyerah. Dua orang lelaki
bertopeng itu berhasil merebut seluruh isi tas ku.
“Brak.”
Salah seorang lelaki bertopeng itu jatuh tersungkur terkena pukulan dari
seseorang. Kemudian teman lelaki itu mencoba untuk menolongnya. Dengan sigap,
orang tersebut menangkis serangan dari patner
lelaki bertopeng itu.
Pisau
yang dibawa oleh lelaki bertopeng itu jatuh. Dengan cepat orang misterius itu
mengambil pisau tersebut .
“Cepat
kembalikan tas itu,” ancam orang tersebut sembari menodongkan pisau itu.
Dua
lelaki bertopeng tadi langsung lari tungggang langgang. Orang tersebut berhasil
merebut kembali tasku. Aku tercengang melihat aksinya. Kemudian, dia
menghampiri ku yang masih tercengang melihat aksi beraninya tadi.
“ Kau
tak apa-apa? Ini tas mu. Aku kan sudah sering bilang jangan pulang malam-malam.
Usahakan sebelum adzan isya sudah sampai kos”, celoteh orang yang menolongku
itu.
“ Kau
mungkin masih shock. Ayo
buruan balik ke kos”, ajaknya.
“
Buuu”, panggilku
“Apa
lagi? Ayok balik!” jawabnya
Aku
berlari menghampirinya. Memeluknya dan mengucap beribu terimakasih.
“Sudah,
sudah. Ayo balik!” Dia membalas pelukanku.
Kami
berdua kembali ke rumah kos bersama. Entah kenapa, malam ini aku melihat sosok
ibu dalam dirinya. Ternyata dibalik semua celoteh pedasnya ada manfaat didalamnya.
Aku menyesal selama ini selalu berburuk sangka padanya. Ternyata tak selamanya
sambal membuat perut mulas. Ada manfaat dibalik pedasnya. Tak ada salahnya juga
menyukai sambal.
“ Aku
suka sambal”, gumamku dalam hati.
No comments:
Post a Comment