Wednesday, June 26, 2013

Bukan Pedas Biasa

Sepedas sambal balado buatan emak. Bahkan lebih dari itu. Pedasnya bisa sampai menyengat hati. Untung saja dia tak hidup di zaman reformasi. Kalau tidak, dia bisa mati tertembak oleh Petrus.

Andai saja ini bukan rumah kos termurah dengan fasilitas yang bisa dibilang lumayan, aku tak akan pernah mau menyewanya. Padahal sudah lima orang yang pindah dalam waktu kurang dari sebulan karena tak tahan dengan mulut nying-nyingnya.

“ Anak perempuan itu sebaiknya jangan pulang malam. Kalau bisa, sebelum isya sudah harus di rumah”, celetuknya sambil menyesap secangkir teh.


“ Maaf ya, Bu, Tapi saya baru selesai kuliah. Ini, kan, baru jam delapan lebih lima menit”,sahutku.

“ Halah, mana ada kuliah malam-malam.”

Aku berlalu pergi ke kamarku. Mengunci rapat dan tak memperdulikan mulut nying-nying ibu kos yang terus mengomel. Jika aku meladeni dia, bisa-bisa sampai subuh dia akan terus berdakwah tak karuan.

Sudahlah, mungkin dia hanya wanita dari zaman kompeni yang tersesat di era globlisasi.  Sudah berapa kali kujelaskan padanya, aku memang mengambil kelas malam karena di pagi hari aku harus menjadi tentor di sebuah lembaga kursus di kota ini. 

Aku tak mungkin terlalu berharap kiriman dari bapak. Maklumlah, aku hanya seorang anak buruh pabrik dengan tiga orang saudara yang masih butuh banyak biaya. Kuliah saja dibiayai pemerintah. Apalagi untuk menikmati sarapan dengan menu sup ayam. Aku masih harus mencari uang tambahan.

Apa mungkin dia yang mau memberiku uang saku? Ah, tagihan air naik seribu rupiah saja dia sudah kebakaran jenggot walau tak punya jenggot sekalipun. Apalagi uang kos telat sehari? Dia sudah mengadakan konser seharian penuh dengan nyanyian pedas melebihi sambal balado buatan emak.
****
Hari ini jadwal mengajarku cuma sampai pukul sepuluh pagi. Bahkan kuliah pun cuma sampai pukul empat sore. Tapi bagiku, hari masih terlalu panjang untuk dilalui dengan kembali ke kos dan melihat wajah judes wanita paruh baya itu. Belum lagi masih harus mendengar ocehannya. Setiap hari, selalu saja ada bahan omelan baginya. Dan lagi-lagi selalu kami, anak kos yang kena imbasnya.

Seusai kuliah aku memutuskan untuk mengitari taman kota. Mumpung aku baru terima gaji. Sesekali memanjakan diri juga tak apa,kan?

Tak terasa sudah pukul delapan malam. Aku kembali ke tempat dimana aku harus merelakan kupingku mendengarkan nyanyian yang merusak syaraf dan melatih kesabaran hati. Seperti biasanya, aku selau melewati jalan setapak untuk menuju kos. Memang, sih, jalannya sedikit gelap dan sepi. Tapi itulah jalan terdekat menuju kos. Tak perlu angkot dan itung-itung juga menghemat ongkos.

Selama perjalanan aku membayangkan bagaimana wajah sinis ibu kos itu. Kemudian mulut nying-nyingnya yang siap mengeluarkan kalimat pedas. Ah, system imunitas tubuhku sudah kebal menghadapinya. Bukan hal yang baru lagi bagiku.

“ Serahkan seluruh hartamu atau kau pulang tanpa nyawa”. Tiba-tiba dua orang lelaki bertopeng dengan sebilah pisau menodongku.

“ Toloooong”, sekuat tenaga aku mencoba mencari bantuan

“ Hahahahahah. Percuma Nona manis. Tak ada seorang pun yang mendengar teriakanmu. Cepat serahkan dompetmu.” Lelaki bertopeng tersebut mengancamku.

Tamat sudah nasibku. Aku tak berkutik melawan dua lelaki bertopeng itu. Tak ada celah untuk kabur atau meminta bantuan penduduk. Aku menyerah. Dua orang lelaki bertopeng itu berhasil merebut seluruh isi tas ku.

“Brak.” Salah seorang lelaki bertopeng itu jatuh tersungkur terkena pukulan dari seseorang. Kemudian teman lelaki itu mencoba untuk menolongnya. Dengan sigap, orang tersebut menangkis serangan dari patner lelaki bertopeng itu.

Pisau yang dibawa oleh lelaki bertopeng itu jatuh. Dengan cepat orang misterius itu mengambil pisau tersebut .

“Cepat kembalikan tas itu,” ancam orang tersebut sembari menodongkan pisau itu.
Dua lelaki bertopeng tadi langsung lari tungggang langgang. Orang tersebut berhasil merebut kembali tasku. Aku tercengang melihat aksinya. Kemudian, dia menghampiri ku yang masih tercengang melihat aksi beraninya tadi.

“ Kau tak apa-apa? Ini tas mu. Aku kan sudah sering bilang jangan pulang malam-malam. Usahakan sebelum adzan isya sudah sampai kos”, celoteh orang yang menolongku itu.

“ Kau mungkin masih shock. Ayo buruan balik ke kos”, ajaknya.

“ Buuu”, panggilku

“Apa lagi? Ayok balik!” jawabnya

Aku berlari menghampirinya. Memeluknya dan mengucap beribu terimakasih.

“Sudah, sudah. Ayo balik!” Dia membalas pelukanku.

Kami berdua kembali ke rumah kos bersama. Entah kenapa, malam ini aku melihat sosok ibu dalam dirinya. Ternyata dibalik semua celoteh pedasnya ada manfaat didalamnya. Aku menyesal selama ini selalu berburuk sangka padanya. Ternyata tak selamanya sambal membuat perut mulas. Ada manfaat dibalik pedasnya. Tak ada salahnya juga menyukai sambal.

“ Aku suka sambal”, gumamku dalam hati.


No comments:

Post a Comment