Judul
: Akar Pule
Penulis
: Oka Rusmini
Penerbit
: Grasindo
Jumlah
Halaman : 145
Tahun
Terbit : 2012
“ Hidup itu,
Geg, harus dilawan. Kalau kita lembek, hidup akan melumat kita. Menelan kita
hidup-hidup. Kalau kita kuat, hidup akan berpikir dulu sebelum menelan kita.
Dia takut.”
Hal 36
Berbicara tentang wanita tentu tak
akan ada habisnya. Dibalik keindahannya, wanita juga menyimpan ribuan warna
yang menyimpan ribuan cerita didalamnya. Inilah yang mampu menginspirasi Oka Rusmini
dalam setiap karyanya. Setelah berhasil menelurkan “Tarian Bumi”, “Sagra”,
“Kenanga”, dan “Tempurung”, wanita Bali
ini kembali melahirkan sebuah karya yang bertema serupa. Feminisme tak pernah
habis digali olehnya.
Membaca
Akar Pule seakan kita menelan biji yang bernama “ wanita” lalu membiarkannya
mengakar kuat dalam tubuh dan jiwa. Sehingga pembaca turut merasakan emosi yang
ditampilkan dalam setiap ceritanya. Oka Rusmini berhasil menusuk pembaca untuk
merasakan aspek sosial yang terangkum dalam kumpulan cerpen tentang wanita ini.
Akar pule lewat penokohan dan latar
Balinya yang kental mampu membawa imaji pembaca semakin larut terhadap
penindasan yang kerap didapatkan oleh wanita. Tak hanya penindasan pria
terhadap wanita saja, penindasan antara wanita dengan wanita pun turut hadir
secara imbang dalam buku ini. Tetapi tetap disuguhkan lewat perspektif wanita
untuk menunjukan bahwa pemikiran wanita tidak bisa diabaikan begitu saja bahkan
suatu saat nanti bisa menjadi bom waktu.
Kisah-kisah dalam Akar Pule ini
didominasi oleh kisah wanita yang terluka baik secara batin maupun fisik. Juga
perlawanan terhadap dominasi pria, pergulatan kasta, ketimpangan budaya
setempat bahkan pergulatan wanita dengan pikirannya sendiri. Plot yang berlapis
juga dimunculkan oleh Oka dalam setiap cerita di buku ini.
Cerpen “Akar Pule” yang menjadi judul utama buku ini bertutur
dengan unik, menyentuh sekaligus mengerikan. Dikisahkan bagaimana tokoh bernama
Saring yang begitu terobsesi pada lelaki, dengan segala kebiadabannya, menerima
nasib pahit yang berulang akibat trauma masa lalu orang tuanya. Melawan trauma
yang malah menimbulkan trauma baru.
Kesialan yang seperti digariskan itu tak bisa dihentikan, malah
semakin menjadi. Padahal Lingkungan juga adat turut andil dalam prosesnya. Akar
Pule memperlihatkan bagaimana manusia-manusia larut dalam bencana karena
perlakuan antar seama manusia, manusia dengan lingkungan, bahkan manusia dengan
keliaran pikirannya sendiri.
Cerpen unik lainnya berjudul “Sipleg”. Berkisah tentang seorang
wanita yang terjebak dengan lingkaran hidup yang aneh antara penolakan dan
kebutuhan kepada pria. Perempun yang hanya dibebani oleh urusan rumah tanpa
bisa melihat dunia luar. Cerpen ini sebenarnya menyentil kondisi wanita yang
sampai saat ini masih melekat pada tradisi masyarakat. Bahwa seorang wanita
harus bisa melahirkan seorang anak laki-laki tanpa perduli berapa banyak anak
perempuan yang telah dilahirkannya. Bahkan sampai ada yang mati sia-sia.
Membaca Akar Pule perlu tenaga
ekstra untuk memahaminya karena sudut pandang yang dihadirkan seringkali
berganti-ganti, tetapi tetap dalam wujud wanita. Pergantian sudut pandang yang tiba-tiba kerap
kali membuat pembaca harus mengeluarkan keringat untuk memahaminya. Tetapi jika
pembaca mampu berpikir keras utuk memahami maknanya, tentu akan ada kepuasan
tersendiri.
Berbeda dengan pengarang feminis
lainnya, Oka Rusmini berhasil menghadirkan warna baru. Dalam setiap tulisannya,
Oka tidak menghadirkan adegan seksual vulgar yang menghabiskan banyak halaman sehingga
kerap mengaburkan maknanya. Walaupun sama-sama bercerita tentang wanita dengan
sentimentalitas yang tinggi, pengarang wanita ini berhasil meramu adegan
seksual dengan cara yang manis dan begitu estetis.
Seperti dalam cuplikan dialog tokoh
Glatik pada cerpen berjudul “Akar Pule” , berikut ini : Daging
yang berdiri tegang di antara kedua kakinya. Napasnya yang memburu.
Mendengkur-dengkur seperti babi ! Aku tidak melihat cinta dan kasih sayang
sedikit pun. Cuma nafsu. Nafsu binatang buas. Kau merasa kesakitan, bukan? Tapi
laki-laki itu tidak mau melepas tubuhnya dari tubuhmu. Dia terus menusukmu,
menusukmu, menusukmu. Membenamkan daging hitamnya dalam-dalam ke dagingmu !”
Dalam dialog tersebut Oka berusaha
menunjukan bahwa ada penderitaan bagi wanita yang disuguhkan secara manis tanpa
perlu ditunjukan lewat adegan seksual yang terlalu vulgar. Hal ini berbeda
dengan mayoritas pengarang wanita Indonesia lainnya. Mereka biasanya berusaha
menunjukan ketidaksetaraan gender lewat ranting cerita dalam degan ranjang yang
dipupuk secara berlebihan. Namun Oka Rusmini seakan menunjukan bahwa banyak
ranting cerita yang dapat menunjukan ketidaksetaraan gender yang dapat menjadi
simbol ketidak adilan terhadap wanita. Seperti kearifan lokal, kepercayaan juga
aspek lain yang mampu menyampaikan ada ketidak setaraan gender disana.
Kumpulan “Akar wanita” yang
terangkum lewat sebelas cerita dalam Akar Pule ini mampu membuat pembaca
memahami wanita lewat penderitaan dan ketidak adilan yang didapatnya. Buku ini
juga sangat cocok bagi mahasiswa yang ingin menganalisis unsur-unsur feminisme
dalam sastra.
No comments:
Post a Comment