Tuesday, August 26, 2014

Sendirian? Why Not!

Malioboro di Malam Hari


Siapa bilang traveling sendirian itu membosankan? Justru hal tersebut membuat kita malah jauh dari kesepian. Kesan bosan selama perjalanan ternyata hanya mitos belaka.
            Sebelum bulan ramadan tahun ini datang, saya, Ariska Anggraini, menutup akhir juni dengan menelusuri kota Semarang dan Yogyakarta seorang  diri. Awal petualangan saya mulai dengan menelusuri kota lumpia, Semarang. Jangan kira saya mengenal baik kota Semarang. Saya hanya mengenal eksotisme Lawang Sewu sebagai daya tarik kota lumpia tersebut. Itu pun saya mengenalnya lewat reality show yang mengekspose perihal alam gaib. Berbekal peta yang saya peroleh dari toko buku, petulangan ke Semarang nekat saya lakukan.
            Perjalanan saya mulai dengan menggunakan travel yang berangkat dari kota Malang pada pukul 20.00 WIB. Tepat pukul 06.00 WIB sopir travel menurunkan saya di depan masjid Baiturrahman yang terletak di Simpang Lima. Setelah menggosok gigi dan mencuci muka di toilet masjid, saya pun tertarik untuk mencicipi hidangan yang dijajakan oleh ibu-ibu yang berjualan di depan masjid tersebut.


Setelah puas menikmati segelas kopi dan beberapa gorengan, penjelajahan kota Semarang saya mulai dengan menelusuri Kota Lama. Selama perjalanan saya tak pernah salah arah. Masyarakat Semarang begitu baik. Dengan senyum ramah, mereka menunjukan arah yag tepat agar saya bisa mencapai tujuan. Bahkan mereka pun merekomendsikan beberapa tempat wisata yang layak di kunjungi dan setiap usai menanyakan arah pada mereka, mereka juga berpesan agar saya selalu hati-hati dan waspada pada orang jahat atau pencopet. Sungguh saya benar-benar tak merasa asing berada di kota lumpia tersebut walaupun sama sekali tak memiliki kerabat disana.
Ternyata tak perlu memakan banyak waktu dari Simpang Lima menuju Kota Lama. Hanya butuh satu kali naik angkot. Itu pun cukup dengan tiga ribu rupiah saja. Setibanya di Kota Lama, saya merasa berada di zaman koloni. Maka tak heran jika kawasan ini juga disebut sebagai miniatur Belanda. Bangunan-bangunan__baik rumah tempat tinggal maupun pertokoan__semuanya berupa bangunan kuno dengan arsitektur Belanda. Daerah yang pernah menjadi pusat perdagangan pada abad ke 19-20 tersebut, terdapat sebuah gereja yang usianya menjapai dua setengah abad. Gereja tersebut bernama Bleduk dan sampai saat ini masih digunakan sebagai tempat ibadah.
            Usai menikmati miniatur Belanda di Semarang, saya memutuskan untuk menikmati wisata gaib. Apalagi kalau bukan Lawang Sewu. Lawang Sewu inilah yang menggelitik rasa penasaran saya sehingga nekat untuk menyusuri kota Semarang. Dengan meniti becak yang merogoh kocek dua puluh ribu rupiah, saya pun tiba di Lawang Sewu. Area wisata ini baru dibuka pukul 08.00WIB. Sesuai dengan namanya, bangunan tersebut memiliki banyak pintu. Yah, walaupun saya tak yakin bahwa jumlah pintu bangunan tersebut persis seribu buah. Untuk menikmati bangunan yang pernah menjadi kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang yang terkenal sebagai PT. Kereta Api Indonesia ini, hanya memerlukan biaya Rp 10.000,00 untuk orang dewasa dan anak-anak sebesar Rp 5000,00.
Hal yang paling berkesan saat mengunjungi tempat dengan nuansa mistik tersebut adalah pertemuan saya dengan dua lelaki petualang. Mereka adalah dua orang santri asal Cirebon yang sengaja melakukan wisata menyusuri Jawa Tengah. Jika saya menuju Semarang dengan menggunakan travel yang menguras lebih dari seratus ribu rupiah, mereka mampu mencapai Semarang tanpa  mengeluarkan sepeser pun. Mereka cukup mengandalkan tumpangan dari truk atau mobil yang lewat untuk melakukan petualangan menyusuri Jawa Tengah.
Tujuan yang berbeda harus membuat kami menyudahi pertemuan kami. Setelah puas menikmati bangunan buatan Belanda tersebut, saya memutuskan untuk mengunjungi Sam Po Kong sedangkan dua orang santri tersebut memilih Kudus sebagai tujuan mereka selanjutnya. Tapi pertemanan kami tidak berakhir di Lawang Sewu. Kecanggihan teknologi membuat kami bisa terus bertukar kabar dan bercerita tentang hal-hal yang menjadi tujuan petualangan kami selanjutnya.
            Setibanya di Sam Po Kong mata saya disuguhkan dengan nuansa Cina. Cukup dengan empat ribu rupiah, saya pun menikmati klenteng tempat persinggahan pertama seorang Laksamana Tiongkok yang bernama Cheng Ho. Tempat tersebut sekarang befungsi sebagai tempat ziarah atau sembahyang.
            Menyusuri kota Semarang membuat saya lupa waktu. Tak terasa hari pun sudah sore. Saya memutuskan untuk mengalihkan petualangan saya ke kota Yogya. Menikmati nuansa malam di Malioboro.
            Malioboro malam hari ternyata tak hanya menyuguhkan wisata belanja dengan harga miring. Banyak sekali hal-hal unik yang saya temui. Mulai dari pengamen dengan alat musik tradisional sampai orang-orang dengan pakainan uniknya untuk meraih rupiah dari para wisatawan. Hal yang paling menarik perhatian saya adalah sekumpulan orang dengan dandanan ala pocong. Tapi bukan sembarang pocong. Dengan kain warna-warni dan dandanan muka yang sungguh menggelikan, pocong-pocong Malioboro ini menghilangkan kesan hantu yang menakutkan bagi saya.
            Di Yogya, saya bertemu dengan wanita tangguh yang berprofesi sebagai juru parkir. Pertemuan saya dengan wanita tersebut mengajari saya arti kerja keras. Saya lupa menanyakan siapa nama wanita tersebut. Kepergian sang suami dan masa depan anak-anaknya membuat wanita itu harus menjadi juru parkir.
Di kota gudeg tersebut, saya juga bertemu dengan tukang becak yang fasih berbahasa Prancis. Saat itu saya sedang menikmati sate di jalanan Maliobro. Lantas bapak berusia tiga puluh tahunan tersebut dengan ramah bertanya profesi saya. Dengan jujur saya pun mengatakan bahwa saya seorang mahasiswa Sastra Prancis. Langsung saja bapak tersebut dengan fasih mengajak saya berbincang-bincang dengan bahasa Prancis.
Sungguh saya malu, sebagai mahaiswa sastra Prancis semester empat, keahlian bahasa Prancis beliau lebih baik daripada saya. Lantas saya pun penasaran darimana beliau mendapat keahlian bahasa Prancis tersebut. Dan ternyata, keahlian tersebut  beliau dapatkan dari  mantan kekasihnya yang seorang wanita berkebangsaan Prancis.
Rutinitas perkuliahan mengharuskan petulangan saya berakhir di Malioboro. Dari seluruh rangkaian perjalanan yang saya tempuh, yang paling berkesan di hati adalah pertemuan saya dengan orang-orang baru. Dua orang santri asal Cirebon yang menambah jumlah saudara, wanita tangguh dengan profesi sebagai juru parkir yang mengajari saya makna hidup dan kerja keras, tukang becak dengan bahasa Prancis yang membuat saya semakin terpaku untuk belajar dengan rajin agar tak kalah fasih dalam berbahasa Prancis, semua itu menjadi rangkain cerita penuh warna yang tak akan pernah saya lupakan. 

No comments:

Post a Comment