Malioboro di Malam Hari |
Siapa bilang traveling sendirian itu membosankan? Justru hal tersebut membuat kita malah jauh dari kesepian. Kesan bosan selama perjalanan ternyata hanya mitos belaka.
Sebelum bulan ramadan tahun ini datang, saya, Ariska Anggraini, menutup
akhir juni dengan menelusuri kota Semarang dan Yogyakarta seorang diri. Awal petualangan saya mulai dengan
menelusuri kota lumpia, Semarang. Jangan kira saya mengenal baik kota Semarang.
Saya hanya mengenal eksotisme Lawang Sewu sebagai daya tarik kota lumpia tersebut.
Itu pun saya mengenalnya lewat reality
show yang mengekspose perihal alam gaib. Berbekal peta yang saya peroleh
dari toko buku, petulangan ke Semarang nekat saya lakukan.
Perjalanan
saya mulai dengan menggunakan travel yang berangkat dari kota Malang pada pukul
20.00 WIB. Tepat pukul 06.00 WIB sopir travel menurunkan saya di depan masjid
Baiturrahman yang terletak di Simpang Lima. Setelah menggosok gigi dan mencuci
muka di toilet masjid, saya pun tertarik untuk mencicipi hidangan yang
dijajakan oleh ibu-ibu yang berjualan di depan masjid tersebut.
Setelah puas menikmati segelas kopi dan beberapa
gorengan, penjelajahan kota Semarang saya mulai dengan menelusuri Kota Lama. Selama
perjalanan saya tak pernah salah arah. Masyarakat Semarang begitu baik. Dengan
senyum ramah, mereka menunjukan arah yag tepat agar saya bisa mencapai tujuan.
Bahkan mereka pun merekomendsikan beberapa tempat wisata yang layak di kunjungi
dan setiap usai menanyakan arah pada mereka, mereka juga berpesan agar saya
selalu hati-hati dan waspada pada orang jahat atau pencopet. Sungguh saya
benar-benar tak merasa asing berada di kota lumpia tersebut walaupun sama
sekali tak memiliki kerabat disana.
Ternyata tak perlu memakan banyak waktu dari Simpang Lima
menuju Kota Lama. Hanya butuh satu kali naik angkot. Itu pun cukup dengan tiga
ribu rupiah saja. Setibanya di Kota Lama, saya merasa berada di zaman koloni.
Maka tak heran jika kawasan ini juga disebut sebagai miniatur Belanda.
Bangunan-bangunan__baik rumah tempat tinggal maupun pertokoan__semuanya
berupa bangunan kuno dengan arsitektur Belanda. Daerah yang pernah menjadi
pusat perdagangan pada abad ke 19-20 tersebut, terdapat sebuah gereja yang
usianya menjapai dua setengah abad. Gereja tersebut bernama Bleduk dan sampai
saat ini masih digunakan sebagai tempat ibadah.
Usai
menikmati miniatur Belanda di Semarang, saya memutuskan untuk menikmati wisata
gaib. Apalagi kalau bukan Lawang Sewu. Lawang Sewu inilah yang menggelitik rasa
penasaran saya sehingga nekat untuk menyusuri kota Semarang. Dengan meniti
becak yang merogoh kocek dua puluh ribu rupiah, saya pun tiba di Lawang Sewu. Area
wisata ini baru dibuka pukul 08.00WIB. Sesuai dengan namanya, bangunan tersebut
memiliki banyak pintu. Yah, walaupun saya tak yakin bahwa jumlah pintu bangunan
tersebut persis seribu buah. Untuk menikmati bangunan yang pernah menjadi kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau
sekarang yang terkenal sebagai PT. Kereta Api Indonesia ini, hanya memerlukan biaya Rp 10.000,00 untuk orang
dewasa dan anak-anak sebesar Rp 5000,00.
Hal yang paling berkesan saat mengunjungi tempat dengan
nuansa mistik tersebut adalah pertemuan saya dengan dua lelaki petualang.
Mereka adalah dua orang santri asal Cirebon yang sengaja melakukan wisata
menyusuri Jawa Tengah. Jika saya menuju Semarang dengan menggunakan travel yang
menguras lebih dari seratus ribu rupiah, mereka mampu mencapai Semarang
tanpa mengeluarkan sepeser pun. Mereka
cukup mengandalkan tumpangan dari truk atau mobil yang lewat untuk melakukan
petualangan menyusuri Jawa Tengah.
Tujuan yang berbeda harus membuat kami menyudahi
pertemuan kami. Setelah puas menikmati bangunan buatan Belanda tersebut, saya
memutuskan untuk mengunjungi Sam Po Kong sedangkan dua orang santri tersebut
memilih Kudus sebagai tujuan mereka selanjutnya. Tapi pertemanan kami tidak
berakhir di Lawang Sewu. Kecanggihan teknologi membuat kami bisa terus bertukar
kabar dan bercerita tentang hal-hal yang menjadi tujuan petualangan kami
selanjutnya.
Setibanya
di Sam Po Kong mata saya disuguhkan dengan nuansa Cina. Cukup dengan empat ribu
rupiah, saya pun menikmati klenteng tempat
persinggahan pertama seorang Laksamana Tiongkok yang bernama Cheng Ho. Tempat tersebut sekarang befungsi sebagai tempat ziarah atau sembahyang.
Menyusuri
kota Semarang membuat saya lupa waktu. Tak terasa hari pun sudah sore. Saya
memutuskan untuk mengalihkan petualangan saya ke kota Yogya. Menikmati nuansa
malam di Malioboro.
Malioboro
malam hari ternyata tak hanya menyuguhkan wisata belanja dengan harga miring.
Banyak sekali hal-hal unik yang saya temui. Mulai dari pengamen dengan alat
musik tradisional sampai orang-orang dengan pakainan uniknya untuk meraih rupiah
dari para wisatawan. Hal yang paling menarik perhatian saya adalah sekumpulan
orang dengan dandanan ala pocong. Tapi bukan sembarang pocong. Dengan kain
warna-warni dan dandanan muka yang sungguh menggelikan, pocong-pocong Malioboro
ini menghilangkan kesan hantu yang menakutkan bagi saya.
Di
Yogya, saya bertemu dengan wanita tangguh yang berprofesi sebagai juru parkir.
Pertemuan saya dengan wanita tersebut mengajari saya arti kerja keras. Saya
lupa menanyakan siapa nama wanita tersebut. Kepergian sang suami dan masa depan
anak-anaknya membuat wanita itu harus menjadi juru parkir.
Di kota gudeg tersebut, saya juga bertemu
dengan tukang becak yang fasih berbahasa Prancis. Saat itu saya sedang
menikmati sate di jalanan Maliobro. Lantas bapak berusia tiga puluh tahunan tersebut
dengan ramah bertanya profesi saya. Dengan jujur saya pun mengatakan bahwa saya
seorang mahasiswa Sastra Prancis. Langsung saja bapak tersebut dengan fasih
mengajak saya berbincang-bincang dengan bahasa Prancis.
Sungguh saya malu, sebagai mahaiswa sastra
Prancis semester empat, keahlian bahasa Prancis beliau lebih baik daripada
saya. Lantas saya pun penasaran darimana beliau mendapat keahlian bahasa
Prancis tersebut. Dan ternyata, keahlian tersebut beliau dapatkan dari mantan kekasihnya yang seorang wanita
berkebangsaan Prancis.
Rutinitas perkuliahan mengharuskan petulangan
saya berakhir di Malioboro. Dari seluruh rangkaian perjalanan yang saya tempuh,
yang paling berkesan di hati adalah pertemuan saya dengan orang-orang baru. Dua
orang santri asal Cirebon yang menambah jumlah saudara, wanita tangguh dengan
profesi sebagai juru parkir yang mengajari saya makna hidup dan kerja keras,
tukang becak dengan bahasa Prancis yang membuat saya semakin terpaku untuk
belajar dengan rajin agar tak kalah fasih dalam berbahasa Prancis, semua itu
menjadi rangkain cerita penuh warna yang tak akan pernah saya lupakan.
No comments:
Post a Comment