Saturday, September 23, 2017

PEREMPUAN PEMBUNUH



Apa kau tahu bagaimana aku membunuh lelaki itu?
Ssssstttttt, Ini rahasia! Aku hanya akan memberi tahu ini padamu.
Mereka bodoh. Bahkan terlalu bodoh. Bisa-bisanya mereka tidak mencurigaiku sebagai pembunuh lelaki itu.
Hahahahahahahha.
Aku tak mengerti mengapa mereka bisa begitu mudahnya mengambil keputusan.

Kata mereka, lelaki itu meninggal karena serangan jantung mendadak. Lantas sebisa mungkin, aku berusaha mengeluarkan air mata agar tampak sedih dihadapan mereka. Sungguh betapa bodohnya.

Yah, lelaki itu suamiku. Sesungguhnya aku begitu bahagia dia terbaring kaku. Tapi aku tak bisa sembarangan meluapkan kebahagianku. Sama seperti aku yang harus berpura-pura tersenyum sewaktu hidup bersamanya. Aku pun harus berusaha menangis dihadapan para pelayat. Juga berpura-pura histeris saat jenasahnya masuk ke liang lahat.

Menikah dengannya bukan kemauanku. Ayah yang memintaku untuk menerima pinangannya.

Ah, tidak! Tepatnya memaksaku. Aku tak punya pilihan. Sama seperti aku yang tidak bisa memilih mau terlahir sebagai perempuan atau lelaki.

“Perempuan itu kalau sudah usia dua puluh tahun harus sudah memikirkan jodoh. Sudah. Terima saja lamarannya. Daripada nanti kamu ndak laku-laku. Buat apa karir cemerlang namun hidup tanpa pasangan.” Begitu kata bapak saat memaksaku untuk menerima pinangan lelaki itu.

Tentu saja aku tidak bisa menolak permintaan bapak. Bapak pasti marah besar dan menuduhku anak durhaka. Lalu marah-marah dan membanting seluruh isi rumah, serta menuduh ibu tidak bisa mendidik anaknya dengan baik. Terus ibu menangis dan berkata padaku, bahwa apa yang diminta bapak adalah kebaikan untuk hidupku.

Entah mengapa acapkali melihat wanita yang melahirkanku itu menangis, selalu ada yang memukuli dada. Dan itu rasanya sesak sekali. Menyakitkan. Maka tak ada cara lain selain aku menyetujui permintaan bapakku itu.

Yah, begitulah memang hidup menjadi wanita. Serba salah. Menolak dianggap pembangkang sedangkan diam dianggap setuju. Hidup seperti itu sungguh menyakitkan.

Aku masih mengingat jelas semuanya. Waktu kecil, Bapak selalu memaksaku untuk belajar dengan rajin dan menjadi yang terbaik di sekolah. Bahkan bapak memaksaku untuk mengambil kuliah ekonomi agar gelar SE melekat di belakang namaku. Tapi apa yang dilakukan oleh bapak, semuanya tak lebih dari sekedar menjaga gengsi. Bapak cuma ingin agar semua orang tahu kalau dia memiliki anak yang berpendidikan tinggi. Tapi setelah pikiranku mengembara jauh, bapak malah menyuruhku untuk mengubur semua impian dan meminta agar aku menyerahkan hidup pada lelaki.

Ah, sudahlah!
 Tak ada gunanya mengeluh akan sesuatu yang sudah terjadi. Cuma membuang waktu. Bagaimanapun juga aku harus menjalani takdirku sebagai perempuan. 

****
            Semasa lelaki itu hidup, dia seringkali menghadiahi kanan kiri pipiku dengan tamparan. Tak cuma tamparan, bibirnya yang tebal dan lebar itu, selalu mengeluarkan kata-kata manis yang membuat ubun-ubun ini tersengat.
“Perempuan bodoh! Masak begini saja keasinan. Jangan-jangan mau kawin lagi, ya? Dasar perempuan tak tahu diri!” Ucap lelaki itu saat aku terlalu berlebih menambah garam pada masakanku. Tangannya yang kekar itu juga tak luput menghadiahi kanan-kiri pipiku dengan tamparan. Juga ikat pinggangnya turut menghujani tubuhku.
Aku hanya menunduk tak membalasnya. Api jika di tambah api akan semakin berkobar. Dan aku tak mau terbakar oleh kobaran api itu. Maka diam adalah cara terbaik.
            Itu belum seberapa. Tak ada apa-apanya. Kakinya yang sebesar talas pohon itu, pernah melayang-layang di tubuhku. Lantas jidatku pun membiru karena hantaman dari tangan kanannya. Saat itu dia cemburu dengan pekerjaanku. Katanya, aku tak punya waktu lagi untuk dirinya. Lalu meminta agar aku melepas pekerjaanku sebagai dosen di sebuah universitas negeri ternama di kotaku.
            Ah, dasar lelaki kurang kerjaan!
Sedari dulu, aku memang tak pernah memiliki cinta untuknya. Aku hanya mencoba untuk cinta. Dan itu tak pernah berhasil. Lagi pula aku tahu, dia hanya cemburu karena gaji dan jabatanku yang lebih tinggi daripada dirinya yang hanya seorang pegawai negeri biasa. Harga dirinya sebagai lelaki merasa tercabik-cabik. Aku harap malaikat datang dan mencabut nyawanya.
            “Kalau dia sampai mukulin kamu. Itu tandanya kamu memang tidak bisa dinasehati baik-baik. Keras kepala. Sudah sana pulang. Kembali ke suamimu. Kamu itu tidak seharusnya meninggalkan rumah seperti ini tanpa izin suami,” kata bapak saat aku menumpahkan kekesalan akan perlakuan suamiku.
“Lagipula, suamimu itu benar, Nduk. Dia cuma ingin kamu lebih banyak menemaninya. Bukan malah sibuk dengan urusan pekerjaanmu. Urusan rumah jadi terbengkalai, kan? Perkara segelas kopi saat suamimu pulang kerja saja, dia harus beli di warung. Harusnya, istri yang menyiapkannya. Bukan orang lain. Sudah. Lebih baik kamu kembali ke suamimu.” Baiklah. Ibu pun juga ikut menyalahkanku.
Saat itu, aku pikir kembali ke pangkuan ayah dan ibu adalah pilihan bagus untuk melindungi diriku dari lelaki maha kasar itu. Aku pikir keluarga adalah tempat bersandar yang nyaman. Bukankah keluarga adalah rumah untuk berlindung yang sebenarnya? Lantas mereka malah menyuruhku kembali dan membenarkan perlakuan kasar lelaki itu. Aku  sungguh ingin lelaki itu mati.
Terpaksa. Aku pun akhirnya melepas pekerjaanku. Membiarkan pekerjaan rumah tangga menghabiskan hari-hariku. Sapu, panci, kain pel, dan penggorengan menjadi teman setia yang menemaniku menghabiskan waktu. Ini sungguh menyakitkan. Setiap pagi, aku hanya bisa melihat dari jendela dapur bagaimana indahnya dunia ini. Yah, tapi aku wanita. Keindahan dunia bagi wanita sepertinya hanya sebatas pada keberhasilan dalam memuaskan lelaki.
Aku sungguh rindu menikmati indahnya duniaku yang dulu. Aku rindu mengenakan tas dan pakaian kerjaku. Juga menghadiri rapat dan seminar-seminar penting. Tidak seperti saat ini, yang kukenakan  hanya daster serta kain pel yang selalu menempel di tangan. Pikiranku terpenjara dalam dapur. Dan aku muak hidup dalam pikiran yang tak bisa berkelana seperti ini.
Hanya satu cara agar aku bisa hidup bebas. Iya. Kematian lelaki itu. Aku benar-benar berharap agar malaikat datang dan mencabut nyawanya.
Kau tahu apa yang menyakitkan dari hidup bersamanya?
Bukan. Tentu bukan karena tendangan, tamparan, atau hujaman ikat pinggang lelaki itu.
Menuduh perempuan sebagai penyebab ketidak hadiran keturunan di tengah-tengah pernikahan, itu adalah hal paling menyakitkan bagi kaum hawa. Hampir setahun kami hidup bersama, tak pernah ada tanda-tanda tangis bayi akan mewarnai rumah. Dan tentu saja, lagi-lagi lelaki itu menyalahkanku.
Ah, dasar lelaki! Seolah-olah kesalahan selalu milik perempuan dan kebenaran adalah nama lain dari mereka.
Mandul. Itu pujian yang hampir setiap hari kuterima. Lantas piring pecah, panci penyok, bahkan vas bunga dan guci sebagai pemanis ruangan pun  hancur berkeping-keping saat keturunan menjadi pembahasan di antara kami.
Dan sungguh, aku ingin lelaki itu mati.
Jangan pikir karena aku perempuan dan dia lelaki maka aku takut untuk membunuhnya.
Oh, tentu  tidak!
Aku ini seorang perempuan. Jangan main-main dengan mahkluk bernama perempuan. Kelembutannya adalah kekutan. Harapannya adalah doa yang bisa menjadi senjata dan mampu membunuh siapapun.
****
Ibu sering berkata bahwa menjadi seorang perempuan itu harus anggun dan elegan di setiap gerak-geriknya. Itu yang membedakan mana perempuan berkelas dan bukan.
Ah ibu, apakah itu semua masih penting? Toh, ujung-ujungnya kembali ke dapur. Tapi tak apalah. Sebagai seorang anak yang baik, aku akan menuruti kata-kata ibuku.
Kau tahu bagaimana cara elegan dan anggun untuk membunuh lelaki itu?
Bukan. Aku tidak membunuhnya dengan cara murahan. Membuatkannya segelas kopi, lalu mencampurkannya dengan racun serangga paling mahal. Setelah itu, aku menyajikan padanya dengan senyum yang menggoda.
 Ah, tidak!
Itu cara yang benar-benar tidak anggun dan elegan. Setelah meminumnya, lelaki itu akan mengeluarkan busa dari mulutnya. Sungguh tidak berkelas. Cara mati seperti itu hanya akan mengarahkan semua mata padaku sebagai penyebabnya. Itu cara yang bodoh.
Engkau juga jangan berpikiran terlalu dangkal kalau aku akan membunuhnya dengan jasa preman bayaran!
Ah, itu terlalu sinetron! Dan selalu saja yang menyewa preman bayaran itu akan meringkuk di penjara pada akhir cerita. Lagipula, itu cara yang terlalu rumit. Tentu saja tidak anggun dan elegan. Keanggunan dan keeleganan seorang wanita tidak selalu berkaitan dengan hal yang rumit.
Engkau pasti tidak percaya dengan caraku menghabisi nyawanya.
Baiklah! Aku akan memberitahumu.
Aku membunuhnya dengan cara yang sederhana dan tak perlu mengotori tangan. Cara yang anggun dan elegan. Iyah. Seperti pesan ibu, kalau seorang perempuan yang berkelas itu harus anggun dan elegan di setiap gerak-geriknya.
Pagi itu, seperti biasa, aku memasak sarapan untuknya, tapi kali ini aku lupa memberi garam pada masakanku. Belum usai dia menghabiskan hidangan di piringnya, dia beranjak dari kursi dan mendatangiku yang tengah menyiapkan segelas teh.
Yah, kau tahulah.
 Tangannya memberi kanan-kiri pipiku dengan tamparan. Lantas memakiku sebagai perempuan bodoh dan tak berguna. Juga lagi-lagi membahas masalah keturunan dan menuduhku sebagai penyebab tidak adanya tangis bayi di rumah ini. Lalu dia pergi melajukan motornya dengan kencang ke tempat kerja.
Eh, tunggu! Jangan berpikir kalau aku membunuhnya dengan menyabotase motornya! Lalu pagi hari saat dia melaju dengan motornya ke tempat kerja, truk melintas di depannya. Lantas rem motornya blong dan...“Braak”. Motor dan lelaki itu hancur terlindas truk.
Ah, lupakan!
Aku ini sarjana ekonomi. Bukan sarjana teknik mesin. Mana paham aku soal sabotase mesin seperti itu.
Kau tahu?
Aku membunuh lelaki itu hanya dengan doa.
Iya, doa.
Saat lelaki itu melaju ke tempat kerja dengan motornya, seperti biasa, aku berharap agar malaikat datang dan mengambil nyawanya. Semesta pun mendengarnya dan menjadikan semua itu nyata.
Makanya, jangan main-main dengan mahkluk bernama perempuan! Kelembutannya adalah kekutan. Harapannya adalah doa yang bisa menjadi senjata dan membunuh siapapun.
Tiga jam kemudian, telepon berdering. Kawan kerja lelaki itu menelepon dan memintaku pergi ke rumah sakit. Aku pun menurutinya. Lantas dokter berkata bahwa serangan jantung mendadak membuat lelaki itu kehilangan nyawanya.
Sungguh aku senang bukan kepalang. Tapi aku harus tetap terlihat sedih dan berpura-pura menangis dihadapan mereka.

Selamat tinggal suamiku. Nikmatilah nerakamu. Dan aku, akan bebas mengembarakan pikiranku.

1 comment:

  1. Wogh.. Nduwe blog juga ternyata...

    Nganu..
    Mending antarparagraf diwenehi jarak.. Ben ora mumet mocone..

    ReplyDelete