Apa kau tahu bagaimana aku membunuh lelaki itu?
Ssssstttttt, Ini rahasia! Aku hanya akan memberi tahu ini
padamu.
Mereka bodoh. Bahkan terlalu bodoh. Bisa-bisanya mereka
tidak mencurigaiku sebagai pembunuh lelaki itu.
Hahahahahahahha.
Aku tak mengerti mengapa mereka bisa begitu mudahnya
mengambil keputusan.
Kata
mereka, lelaki itu meninggal karena serangan jantung mendadak. Lantas sebisa mungkin, aku berusaha mengeluarkan air mata
agar tampak sedih dihadapan mereka. Sungguh betapa bodohnya.
Yah, lelaki itu suamiku. Sesungguhnya aku begitu bahagia dia terbaring
kaku. Tapi aku tak bisa sembarangan meluapkan kebahagianku. Sama seperti aku
yang harus berpura-pura tersenyum sewaktu hidup bersamanya. Aku pun harus
berusaha menangis dihadapan para pelayat. Juga berpura-pura histeris saat
jenasahnya masuk ke liang lahat.
Menikah dengannya bukan kemauanku. Ayah yang memintaku untuk menerima
pinangannya.
Ah, tidak! Tepatnya memaksaku. Aku tak punya pilihan. Sama seperti aku yang
tidak bisa memilih mau terlahir sebagai perempuan atau lelaki.
“Perempuan itu kalau sudah usia dua puluh tahun harus sudah memikirkan
jodoh. Sudah. Terima saja lamarannya. Daripada nanti kamu ndak laku-laku. Buat apa karir cemerlang namun hidup tanpa pasangan.”
Begitu kata bapak saat memaksaku untuk menerima pinangan lelaki itu.
Tentu
saja aku tidak bisa menolak permintaan bapak. Bapak pasti marah besar dan menuduhku
anak durhaka. Lalu marah-marah dan membanting seluruh isi rumah, serta menuduh
ibu tidak bisa mendidik anaknya dengan baik. Terus ibu menangis dan berkata
padaku, bahwa apa yang diminta bapak adalah kebaikan untuk hidupku.
Entah
mengapa acapkali melihat wanita yang melahirkanku itu menangis, selalu ada yang
memukuli dada. Dan itu rasanya sesak sekali. Menyakitkan. Maka tak ada cara
lain selain aku menyetujui permintaan bapakku itu.
Yah, begitulah memang hidup menjadi wanita. Serba salah. Menolak dianggap pembangkang sedangkan diam dianggap setuju. Hidup
seperti itu sungguh menyakitkan.
Aku masih mengingat jelas semuanya. Waktu kecil,
Bapak selalu memaksaku untuk belajar dengan rajin dan menjadi yang terbaik di
sekolah. Bahkan bapak memaksaku untuk mengambil kuliah ekonomi agar gelar SE
melekat di belakang namaku. Tapi apa yang dilakukan oleh bapak, semuanya tak
lebih dari sekedar menjaga gengsi. Bapak cuma ingin agar semua orang tahu kalau
dia memiliki anak yang berpendidikan tinggi. Tapi setelah pikiranku mengembara jauh,
bapak malah menyuruhku untuk mengubur semua impian dan meminta agar aku
menyerahkan hidup pada lelaki.
Ah, sudahlah!
Tak ada gunanya
mengeluh akan sesuatu yang sudah terjadi. Cuma membuang waktu. Bagaimanapun
juga aku harus menjalani takdirku sebagai perempuan.
****
Semasa lelaki itu hidup,
dia seringkali menghadiahi kanan kiri pipiku dengan tamparan. Tak cuma
tamparan, bibirnya yang tebal dan lebar itu, selalu mengeluarkan kata-kata
manis yang membuat ubun-ubun ini tersengat.
“Perempuan bodoh! Masak begini saja keasinan. Jangan-jangan
mau kawin lagi, ya? Dasar perempuan tak tahu diri!” Ucap lelaki itu saat aku
terlalu berlebih menambah garam pada masakanku. Tangannya yang kekar itu juga
tak luput menghadiahi kanan-kiri pipiku dengan tamparan. Juga ikat pinggangnya
turut menghujani tubuhku.
Aku hanya menunduk tak membalasnya. Api jika di tambah
api akan semakin berkobar. Dan aku tak mau terbakar oleh kobaran api itu. Maka
diam adalah cara terbaik.
Itu belum seberapa. Tak ada
apa-apanya. Kakinya yang sebesar talas pohon itu, pernah melayang-layang di
tubuhku. Lantas jidatku pun membiru karena hantaman dari tangan kanannya. Saat
itu dia cemburu dengan pekerjaanku. Katanya, aku tak punya waktu lagi untuk
dirinya. Lalu meminta agar aku melepas pekerjaanku sebagai dosen di sebuah universitas
negeri ternama di kotaku.
Ah, dasar lelaki kurang
kerjaan!
Sedari dulu, aku memang tak pernah memiliki cinta
untuknya. Aku hanya mencoba untuk cinta. Dan itu tak pernah berhasil. Lagi pula
aku tahu, dia hanya cemburu karena gaji dan jabatanku yang lebih tinggi
daripada dirinya yang hanya seorang pegawai negeri biasa. Harga dirinya sebagai
lelaki merasa tercabik-cabik. Aku harap malaikat datang dan mencabut nyawanya.
“Kalau dia sampai mukulin
kamu. Itu tandanya kamu memang tidak bisa dinasehati baik-baik. Keras kepala.
Sudah sana pulang. Kembali ke suamimu. Kamu itu tidak seharusnya meninggalkan rumah
seperti ini tanpa izin suami,” kata bapak saat aku menumpahkan kekesalan akan
perlakuan suamiku.
“Lagipula, suamimu itu benar, Nduk. Dia cuma ingin kamu lebih banyak menemaninya. Bukan malah sibuk
dengan urusan pekerjaanmu. Urusan rumah jadi terbengkalai, kan? Perkara segelas
kopi saat suamimu pulang kerja saja, dia harus beli di warung. Harusnya, istri
yang menyiapkannya. Bukan orang lain. Sudah. Lebih baik kamu kembali ke
suamimu.” Baiklah. Ibu pun juga ikut menyalahkanku.
Saat itu, aku pikir kembali ke pangkuan ayah dan ibu
adalah pilihan bagus untuk melindungi diriku dari lelaki maha kasar itu. Aku
pikir keluarga adalah tempat bersandar yang nyaman. Bukankah keluarga adalah
rumah untuk berlindung yang sebenarnya? Lantas mereka malah menyuruhku kembali
dan membenarkan perlakuan kasar lelaki itu. Aku sungguh ingin lelaki itu mati.
Terpaksa. Aku pun akhirnya melepas pekerjaanku.
Membiarkan pekerjaan rumah tangga menghabiskan hari-hariku. Sapu, panci, kain
pel, dan penggorengan menjadi teman setia yang menemaniku menghabiskan waktu. Ini
sungguh menyakitkan. Setiap pagi, aku hanya bisa melihat dari jendela dapur bagaimana
indahnya dunia ini. Yah, tapi aku wanita. Keindahan dunia bagi wanita
sepertinya hanya sebatas pada keberhasilan dalam memuaskan lelaki.
Aku sungguh rindu menikmati indahnya duniaku yang dulu. Aku
rindu mengenakan tas dan pakaian kerjaku. Juga menghadiri rapat dan
seminar-seminar penting. Tidak seperti saat ini, yang kukenakan hanya daster serta kain pel yang selalu
menempel di tangan. Pikiranku terpenjara dalam dapur. Dan aku muak hidup dalam
pikiran yang tak bisa berkelana seperti ini.
Hanya satu cara agar aku bisa hidup bebas. Iya. Kematian
lelaki itu. Aku benar-benar berharap agar malaikat datang dan mencabut
nyawanya.
Kau tahu apa yang menyakitkan dari hidup bersamanya?
Bukan. Tentu bukan karena tendangan, tamparan, atau
hujaman ikat pinggang lelaki itu.
Menuduh perempuan sebagai penyebab ketidak hadiran
keturunan di tengah-tengah pernikahan, itu adalah hal paling menyakitkan bagi kaum
hawa. Hampir setahun kami hidup bersama, tak pernah ada tanda-tanda tangis bayi
akan mewarnai rumah. Dan tentu saja, lagi-lagi lelaki itu menyalahkanku.
Ah, dasar lelaki! Seolah-olah kesalahan selalu milik
perempuan dan kebenaran adalah nama lain dari mereka.
Mandul. Itu pujian yang hampir setiap hari kuterima.
Lantas piring pecah, panci penyok, bahkan vas bunga dan guci sebagai pemanis
ruangan pun hancur berkeping-keping saat
keturunan menjadi pembahasan di antara kami.
Dan sungguh, aku ingin lelaki itu mati.
Jangan pikir karena aku perempuan dan dia lelaki maka aku
takut untuk membunuhnya.
Oh, tentu tidak!
Aku ini seorang perempuan. Jangan main-main dengan
mahkluk bernama perempuan. Kelembutannya adalah kekutan. Harapannya adalah doa
yang bisa menjadi senjata dan mampu membunuh siapapun.
****
Ibu sering berkata bahwa menjadi seorang perempuan itu
harus anggun dan elegan di setiap gerak-geriknya. Itu yang membedakan mana perempuan
berkelas dan bukan.
Ah ibu, apakah itu semua masih penting? Toh,
ujung-ujungnya kembali ke dapur. Tapi tak apalah. Sebagai seorang anak yang
baik, aku akan menuruti kata-kata ibuku.
Kau tahu bagaimana cara elegan dan anggun untuk membunuh
lelaki itu?
Bukan. Aku tidak membunuhnya dengan cara murahan. Membuatkannya segelas kopi, lalu mencampurkannya dengan racun
serangga paling mahal. Setelah itu, aku menyajikan padanya dengan senyum yang
menggoda.
Ah,
tidak!
Itu cara yang benar-benar tidak anggun dan
elegan. Setelah meminumnya, lelaki itu akan mengeluarkan busa dari mulutnya. Sungguh
tidak berkelas. Cara mati seperti itu hanya akan mengarahkan semua mata padaku
sebagai penyebabnya. Itu cara yang bodoh.
Engkau juga jangan berpikiran terlalu dangkal kalau aku
akan membunuhnya dengan jasa preman bayaran!
Ah, itu terlalu sinetron! Dan selalu saja yang menyewa
preman bayaran itu akan meringkuk di penjara pada akhir cerita. Lagipula, itu
cara yang terlalu rumit. Tentu saja tidak anggun dan elegan. Keanggunan dan
keeleganan seorang wanita tidak selalu berkaitan dengan hal yang rumit.
Engkau pasti tidak percaya dengan caraku menghabisi
nyawanya.
Baiklah! Aku akan memberitahumu.
Aku membunuhnya dengan cara yang sederhana dan tak perlu
mengotori tangan. Cara yang anggun dan elegan. Iyah. Seperti pesan ibu, kalau
seorang perempuan yang berkelas itu harus anggun dan elegan di setiap
gerak-geriknya.
Pagi itu, seperti biasa, aku memasak sarapan untuknya, tapi
kali ini aku lupa memberi garam pada masakanku. Belum usai dia menghabiskan
hidangan di piringnya, dia beranjak dari kursi dan mendatangiku yang tengah
menyiapkan segelas teh.
Yah, kau tahulah.
Tangannya memberi
kanan-kiri pipiku dengan tamparan. Lantas memakiku sebagai perempuan bodoh dan
tak berguna. Juga lagi-lagi membahas masalah keturunan dan menuduhku sebagai
penyebab tidak adanya tangis bayi di rumah ini. Lalu dia pergi melajukan
motornya dengan kencang ke tempat kerja.
Eh, tunggu! Jangan berpikir kalau aku membunuhnya dengan
menyabotase motornya! Lalu pagi hari saat dia melaju dengan motornya ke tempat
kerja, truk melintas di depannya. Lantas rem motornya blong dan...“Braak”.
Motor dan lelaki itu hancur terlindas truk.
Ah, lupakan!
Aku ini sarjana ekonomi. Bukan sarjana teknik mesin. Mana paham
aku soal sabotase mesin seperti itu.
Kau tahu?
Aku membunuh lelaki itu hanya dengan doa.
Iya, doa.
Saat lelaki itu melaju ke tempat kerja dengan motornya,
seperti biasa, aku berharap agar malaikat datang dan mengambil nyawanya.
Semesta pun mendengarnya dan menjadikan semua itu nyata.
Makanya, jangan main-main dengan mahkluk bernama
perempuan! Kelembutannya adalah kekutan. Harapannya adalah doa yang bisa
menjadi senjata dan membunuh siapapun.
Tiga
jam kemudian, telepon berdering. Kawan kerja lelaki itu menelepon dan memintaku
pergi ke rumah sakit. Aku pun menurutinya. Lantas dokter berkata bahwa serangan
jantung mendadak membuat lelaki itu kehilangan nyawanya.
Sungguh
aku senang bukan kepalang. Tapi aku harus tetap terlihat sedih dan berpura-pura
menangis dihadapan mereka.
Selamat
tinggal suamiku. Nikmatilah nerakamu. Dan aku, akan bebas mengembarakan
pikiranku.
Wogh.. Nduwe blog juga ternyata...
ReplyDeleteNganu..
Mending antarparagraf diwenehi jarak.. Ben ora mumet mocone..